Home » » Alunan Indah Takdir di Balik Sebuah Kegagalan

Alunan Indah Takdir di Balik Sebuah Kegagalan

Oleh: Fakhry Emil Habib

Membaca di Perpustakaan Alexandria
Bukan kisah cinta yang kusuguhkan, bukan pula kisah heroik yang mendebarkan, namun kawan,  aku makin merasakan skenario-Nya memang penuh dengan kesempurnaan.

Jam 11.30

Aku buru-buru mengambil tempat duduk di ruangan konsuler KBRI Kairo, mengikuti acara launching buku "Merah Putih di Negeri Kinanah" dan "Shocking Egypt", serta pelatihan kepenulisan yang diadakan oleh KBRI. Telat memang, namun kau tahu kawan, tak ada yang protes dengan keterlambatanku. Malah panitia bidang registrasi bertanya, “Sendirian aja, Bib?” Aku tersenyum. “Ya iyalah, aku kan belum berdua,” ujarku dalam hati.


Ku lepas topi Adidas hitam yang kubeli di Aua Kuniang, mendengarkan materi yang disampaikan oleh CEO Penerbit Bentang dan Editor Galang Press. Berkesan? Tentu, apalagi ayam gorengnya, setelah 3 hari ini perutku mulai penuh dengan daging sapi dan kambing, berkah Idul Adha.

Hingga di akhir materi, Ibu Sophie Mou, sang editor, memberi kami sebuah kompetisi untuk menulis dua paragraf dengan pembuka “Boby tercekat melihat amplop merah muda di bawah pintunya.”

Aku salah sangka, mengira peserta harus menulis prolog sebuah cerita, sebagai pengenalan yang membuat pembaca tertarik. Hingga setelah karyaku dikumpulkan, aku sadar bahwa tugasnya bukan cuma itu, namun juga menghadirkan plot lengkap dalam dua paragraf. Alamak! Buyar sudah harapanku mendapatkan buku gratis!
     
Dengan lesu, aku mendengarkan pengumuman delapan nama penulis terbaik, yang pastinya tidak ada namaku. Namun, hei, tunggu..
     
“Biar adil, buat peserta yang gak masuk 8 nominasi tadi, kita kasih kompetisi lagi deh, buat bikin prosa 140 karakter, pokoknya sesuai kapasitas twitter,” uraian bu Sophie bagaikan angin sejuk menerpa rambutku yang mulai gondrong, tapi, bagaimana aku bisa merangkum prosa dalam 140 karakter?
     
Ibu sophie mulai mendikte satu tugas lagi untuk 8 nominasi terbaik, namun pendengaranku tak fokus, aku masih memikirkan 140 karakter yang akan aku buat.
     
“Buat tugas 140 karakter, pembukanya gini, “Hari ini lounching buku dan pelatihan menulis.”, buat sekreatif mungkin! Yang terbaik akan dapat hadiah khusus dari saya.” Aku mulai bingung, akankah aku buat prosa alay seperti yang dilakukan ababil zaman sekarang? Atau..? Aaaah.. Lebih baik aku curahkan semua, ingat, menulis dengan hati! Hey, kenapa aku tidak jadikan makan siang sebagai angle? Bukankah reporter sepertiku memang harus melihat suatu masalah dari sudut pandang yang dilewatkan orang lain?
     
“Hari ini lounching buku dan pelatihan menulis. Aku telat, tapi dapat pengalaman menarik plus ayam goreng untuk makan siang.” 

Aku tersendat, baru 129 karakter. Aku masih merasa twitku hambar. Ah, harapanku mulai sirna, terserah, mungkin aku memang tidak berbakat membuat twit, lagipula akun twitterku saat ini mungkin juga sudah dipenuhi sarang laba-laba karena sudah lama tak ku kunjungi.
     
“Hari ini lounching buku dan pelatihan menulis. Aku telat, tapi dapat pengalaman menarik plus ayam goreng untuk makan siang. Mak nyuss.. haha”, ngasal, tapi terserah. 

Ku tulis namaku di sudut kertas, “F. E. Habib”, tak perlu nama lengkap untuk secarik kertas yang hanya berisi tulisan jelek tak punya masa depan. Pikirku.
     
Aku mulai lesu untuk melanjutkan acara. Aku putuskan untuk pergi shalat Ashar di Masjid terdekat. Namun setelah shalat, tiba-tiba..
     
“Bib, buruan balik ke konsuler, tulisan antum kepilih.” Bang Betto mengekutkanku.
     
“Eh? Oke..” hanya itu yang keluar dari pita suaraku yang tercekat. Hatiku mulai berkecamuk. 

Tulisanku.. ya, tulisanku?? Sebuah twit GaJe terpilih? MasyaAllah! Setengah berlari, aku kembali menuju konsuler, mukaku merah, mendengar ledekan kawan-kawan, “Ahli nge-twit nih!”, “Jagoan dunia maya. Haha..”

***

Dengan sedikit malu aku menerima hadiah dari Bu Sophie, sebuah dasi hijau bercorak naga, berbahan sutra, masih terbungkus plastik bening kini telah ada di tanganku. Bu Sophie menjulurkan tangan, sebagai ucapan selamat pastinya, tapi aku hanya mengatupkan dua tanganku di depan dada, berharap beliau paham dengan apa yang Islam atur tentang berjabat tangan dengan wanita. Cukup lama beliau menjulurkan tangan hingga beliau paham apa yang ku maksud.
     
Hahhhh.. Ayam goreng, kau inspirasiku hari ini..

***

Jam 20.00
     
Aku tertegun di dalam bus 80-coret yang membawaku pulang menuju Husein. Allah mengatur aku, untuk tidak memenangkan buku terbaru terbitan Galang. Tragis? Tentu, jika cerita hanya sampai di situ. Namun siapa sangka jika ceritanya berlanjut hingga akhirnya aku bisa mendapatkan sebuah dasi sutra Cina dengan motif tenun naga yang mungkin hanya ada satu-satunya di Mesir? Akankah aku mendapatkannya jika tulisanku masuk dalam nominasi 8 terbaik?
     
Tak ada yang kebetulan, aku yakin itu. Apa yang kualami hari ini telah tertulis di Lauh Mahfuz, sebuah skenario yang tak mampu diprediksi logika. Kebetulan yang rumit. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.. Hanya itu yang bisa ku ucapkan. Harusnya kita selalu bersyukur atas hasil apapun yang kita dapatkan, meski pahit awalnya, namun pasti ada rahasia indah di belakangnya. 

Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Facebook | Twitter | Google+
Copyright © 2013. Al-Fatih Revolution Brotherhood - Tolong sertakan sumber saat mengutip :)
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger