Pertentangan agama dan adat bukanlah hal baru dalam sejarah perkembangan
Minangkabau. Pada masa Belanda, isu pertentangan ini juga pernah dijadikan
Belanda sebagai cara untuk memecah-belah persatuan masyarakat Minangkabau,
hingga meletuslah Perang Paderi.
Alhamdulillah, bukannya memecah dan merusak Ranah Minang, Perang Paderi
malah membawa berkah. Berkat Perang Paderilah muncul Sumpah Sati Bukik
Marapalam pada tahun 1837, yang berbunyi, “Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah. Adat manurun, syarak mandaki. Adat nan kawi, syarak nan
lazim. Syarak mangato, adat mamakai. Tuhan basifat qadim, manusia basifat
khilaf.”.
Dengan adanya Perang Paderi, terciptalah keharmonisan antara adat dan Islam. Segala hal yang bertentangan dihapus, sedangkan hal yang sudah pas dipatenkan. (Terima kasih kepada Tuanku Imam Bonjol Malin Basa, Harimau nan Salapan, serta inyiak-inyiak kita yang telah berjasa)
Namun sayang, kini, pertentangan-pertentangan adat dan agama kembali
mencuat. Dan lebih sayang lagi, pertentangan ini dibuat-buat oleh mereka yang
tidak paham agama, tidak pula mengerti adat. Bahkan jangan-jangan, pertentangan
ini juga dimunculkan untuk mengadu domba umat?
Nah, apa saja pertentangan agama dan adat yang dituduhkan?