Lagi-lagi saya terlibat diskusi tentang kontroversi penyelamatan bahasa daerah
dengan salah seorang kawan saya.
Saya, lelaki Minang tulen, dianggap terlalu kuat mempertahankan Bahasa
Minang sehingga bahasa keliru yang digunakan oleh kawan-kawan sering saya
koreksi. Sedangkan mereka, entah mengapa sejak puber, mulai menggunakan bahasa rusak. Mungkin karena faktor 'gengsi', pikir saya.
Alasan logis namun apatis selalu dikemukakan, “Yang penting paham, bukan?”
Ah, ya! Tentu saja bahasa digunakan agar lawan bicara memahami apa yang
dimaksudkan oleh penggunanya. Namun, alasan ini bagi saya hanya bisa diterima jika
bahasa hanya digunakan untuk berkomunikasi. Dan jika bahasa hanya berpatokan
pada paham-tak paham, berarti bahasa manusia itu sama saja dengan bahasa
lumba-lumba, bahasa koala, bahasa harimau sumatera, bahasa kerbau yang pasrah
saja saat dicucuk hidungnya.