Home » , , , » Apakah Saya Alim, ataukah Saya Awam?

Apakah Saya Alim, ataukah Saya Awam?

Tak sekali-dua kali saya terlibat dialog dengan kawan-kawan disini ataupun di Indonesia tentang pribadi seorang ulama,
.
Biasanya, mereka akan menyampaikan bahwa menjadi ulama itu cukup dengan menjadi orang yang mampu memBACA dan meNELAAH kitab-kitab rujukan untuk mencari solusi terhadap persoalan serta jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan 'mustafti'/penanya,
.
Dan terkadang, ujung-ujungnya banyak juga kawan-kawan seperti ini yang menyayangkan metode belajar saya yang kolot, kaku, sulit, tidak relevan dan tidak efektif (menurut mereka). Sebab saya belajar dengan metode memantapkan satu mazhab semantap-mantapnya, baru kemudian melakukan perbandingan untuk pengayaan. Sebab saya belajar dengan 'mendalami', bukan 'menjelajahi'. Sebab saya 'menginstall' malakah ilmu, bukan sekedar 'menge-save' data,
.
Dalam hati saya tersenyum, sebab dahulu saya juga berpikiran begitu, sebelum konsisten mengikuti majlis-majlis Syekh Salim al-Khathib, Syekh al-Habib Ahmad al-Maqdi, Syekh Musthafa Abu Hamzah, guru-guru saya yang luar biasa,
.
Pada akhirnya paling-paling saya akan katakan, "Jika menjadi alim-ulama itu cukup dengan kemampuan membaca dan menelaah kitab saja, lalu APA BEDANYA ALIM DENGAN AWAM? Orang awam Arab pun mampu membaca kitab-kitab agama. Bahkan orang awam non-Arab pun mampu, sebab sudah banyak kini kitab-kitab yang diterjemahkan. Apa lebihnya kita dibanding mereka?"
.
Dan biasanya dialog akan berakhir, sebab apa yang saya sampaikan memang begitu adanya,
.
Kemudian saya akan lanjutkan dengan mengajukan beberapa persoalan agama dasar, yang ternyata tidak akan mampu dijawab oleh mereka yang belajar agama dengan metode 'menjelajahi' (baca : muqaranah), dan hanya akan bisa dijawab oleh mereka yang belajar dengan metode 'mendalami' (ta'ammuqu'l mazhab). Apa hukumnya salat sambil menggendong bayi yang memakai popok? Apa hukumnya menggunakan air sabun untuk istinja/cebok? Kenapa sifat wajib Allah hanya 20, bagaimana dengan sifat lainnya?
.
Saya pun tambahkan dengan mengisahkan beberapa ulama terdahulu; Imam Syafi'i, Imam Nawawi, bahkan Syekh Ibnu Taymiyah -rahimahumullah-. Bagaimana mereka belajar, bagaimana mereka mengajar, bagaimana mereka berfatwa,
.
Kemudian saya bandingkan dengan zaman ini, dimana masalah semakin rumit, namun calon ulama malah menganggap bahwa untuk menjadi ulama CUKUP dengan modal kemampuan baca kitab. Hallo? Kok saya jadi kecewa?
.
Seperti yang saya sampaikan. Belajar ilmu agama itu bukan sekedar menge-'save' data-data ilmu, namun juga meng-'install' ilmu tersebut sehingga yang didapat nanti adalah MALAKAH untuk mampu berijtihad. Mampu berfatwa,
.
Maka dari itu belajarlah untuk menginstall ilmu tersebut sesuai dengan cara-cara yang benar, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh ulama-ulama muktabar. Ulama-ulama yang disepakati kehebatannya. Bacalah kembali perjuangan serta langkah-langkah ulama terdahulu untuk menjadi alim. Belajar itu ibadah, otomatis harus dipenuhi pula dua syarat ibadah ; ikhlas lillahi ta'ala serta ittiba',
.
Setelah 'malakah' tadi terbentuk karena belajar dengan metode yang benar, maka baru kemudian seorang alim akan mampu menyesuaikan segala persoalan serta permasalahan dengan tuntunan agama,
.
'Usul' (pokok-pokok) agama itu akan tetap begitu, tetapi 'furu'nya (cabang-cabang permasalahan) akan terus berkembang sesuai tempat dan waktu. Makany, belajar agama akan tetap dengan gaya klasik, hanya penerapannya yang akan mengikuti lokasi dan masa,
.
Saya akan tutup diskusi dengan sedikit anjuran untuk introspeksi, "Sekarang, coba 'akhi' renungkan, apa bedanya saya dengan awam. Jika hanya Bahasa Arab, maka ternyata saya tak lebih dari orang Arab yang awam. Jika memang saya hanya awam, sedangkan masyarakat di tempat asal saya berharap saya menjadi ulama, maka mulailah perbaiki cara belajar. Ketahui mana ilmu pokok dan mana ilmu pengayaan! Pelajarilah agama dengan metode yang benar! Belajarlah dengan metode berjenjang, bertahap, tak lupa memperhatikan riwayat keilmuan yang bersambung sampai kepada Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-! Jadilah alim yang sebenar alim, pewaris anbiya! Jangan jadi awam namun mengaku-ngaku ulama!"
.
***
.
Agaknya masalah yang terjadi di zaman ini mirip dengan apa yang terjadi di masa Imam Syafi'i -rahimahullah-, dimana banyak orang tak berilmu merasa berhak mengotak-atik dalil-dalil agama, mudah berfatwa. Banyak ulama yang khawatir, sehingga Imam Syafi'i tuliskan kitab fenomenal beliau, Ar-Risalah,
.
Orang-orang tak berilmu pun bungkam. Muruah ulama kembali bangkit. Nas-nas wahyu kembali dihargai. Imam Syafi'i pun digelari 'Nashiru's Sunnah' (penolong sunnah),
.
Zaman ini kita butuh ulama seperti Imam Syafi'i, namun kebanyakan calon ulama kini malah hanya belajar untuk ujian, dan berhenti belajar setelah tamat kuliah,
.
Mendalami agama itu amanah. Hukumnya fardu kifayah. Jika saudara-saudara kita di Palestina bersungguh-sungguh untuk menggugurkan kewajiban kita berjihad, akankah kita bermain-main untuk menggugurkan kewajiban mereka berijtihad? Patutkah?
.
Ini tak lebih dari nasihat untuk diri saya pribadi. Jika saudara dan kawan-kawan dapat mengambil manfaat, alhamdulillah,
.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)
.
***
.
Untuk adik-adik saya yang sedang ujian. Mudah-mudahan diberi kemudahan. Ingat! Lulus ujian dengan predikat sempurna pun tidak akan menjamin kita telah jadi ulama. Sejauh mana kadar kita antara alim dan awam, hanya kita yang tahu. Maka sering-seringlah melakukan evaluasi.

2 komentar:

 
Support : Facebook | Twitter | Google+
Copyright © 2013. Al-Fatih Revolution Brotherhood - Tolong sertakan sumber saat mengutip :)
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger