Aku sempat terkejut saat tahu bahwa ayah melakukan
studi banding ke Bali. Bagaimana bisa? Kenapa harus Pulau Dewata? Kenapa bukan
Aceh yang jelas dengan kanun agamanya? Masih banyak kenapa-kenapa lain yang
menggelayut di benak, membuat sesak otak.
Bagaimana tidak? Ayah adalah pegawai negeri
Kementrian Agama Kabupaten Agam, sebuah kabupaten dengan mayoritas penduduk
muslim. Malah aku berani mengatakan bahwa 100% penduduk di kabupatenku adalah
muslim. Lalu ilmu macam apa yang akan dibawa dari sebuah provinsi dengan
mayoritas penduduknya beragama Hindu?
Sebenarnya aku sempat mengatakan pada ayah,
“Bukankah lebih baik jika studi banding itu dilakukan dengan mengajak para pimpinan
pondok pesantren untuk mempelajari kurikulum pondok pesantren di Pulau Jawa,
yang masih eksis dengan kurikulum pendalaman kitab klasiknya,”. Karena memang
selama ini ku lihat, pondok pesantren di daerahku mengalami kegalauan
kurikulum, antara mempertahankan kurikulum pendalaman kitab-kitab klasik dan
mengejar target kelulusan UN.
Sedikit kecewa, tentu wajar. Namun semua menguap
saat aku menelpon ayah kemarin sore. Dan itulah yang menjadi inspirasi tulisanku
hari ini. Ternyata banyak hal yang perlu dipelajari sekelompok orang yang hidup
di lingkungan mayoritas Muslim, apalagi pelayan masyarakatnya dari sekelompok
masyarakat Hindu.
Awalnya memang, aku hanya bertanya basa-basi, apa
kira-kira ilmu yang didapat dari sebuah pulau tempat para bule berenang, nyaris
telanjang? Nah, pertama, ayah mencoba meluruskan pemahamanku tentang Bali.
“Bali itu bukan Kuta, Bib. Kuta memang sudah
disediakan bagi turis yang hanya ingin menikmati keindahan pantai. Kuta
disediakan bagi nonbali. Dan Kuta bukan tujuan studi ayah. Ayah mengambil ilmu
dari Bali yang sebenarnya. Mengambil ilmu dari Bali selain Kuta,”
Wow! Menarik. Ini kira-kira kesalahanku selama ini
yang memandang Bali hanya sebagai tempat berjemur para turis pucat.
“Habib tahu? Paling tidak ada 3 hal menarik yang
bisa kita pelajari dari Bali,” ujar beliau.
Nah, ini yang kutunggu-tunggu. Inti dari sebuah
studi banding.
“Yang pertama, kita bisa melihat dari ketaatan
mereka terhadap agama yang mereka anut. Jika hanya melihat pada Kuta, maka
memang hanya aspek wisata dan bisnis yang terlihat. Namun saat melihat kawasan
selain Kuta, maka Habib akan lihat bahwa orang Bali, adalah umat yang taat beragama.
Setiap rumah punya pure. Setiap pagi, mereka mengantarkan sesajen ke pure
tersebut,”
“Nah, lalu siapa yang akan menghabiskan sesajen
itu, Yah?” ujarku ingin tahu.
“Tidak ada. Sesajen itu diganti setiap hari. Lihat
betapa pedulinya mereka terhadap agama yang mereka anut, hingga setiap rumah
punya Pure sendiri,”
Aku agak terkejut. Tentu saja. Ku kira orang Hindu
hanya mengunjungi pure mereka sekali setahun. Ku kira hanya Islam yang
mengajarkan umatnya untuk memperbaharui iman dalam rentang waktu yang singkat.
Ternyata Hindu juga, meski frekuensinya tidak sesering umat Islam yang lima
kali sehari semalam. Bahkan dengan kewajiban yang lima itu pun, umat Islam
masih banyak yang lalai.
Namun dari pada menunjukan rasa kagumku, aku lebih
tertarik mengomentari pronunciation saat melafalkan “pure”. Ayah menggunakan
E jelas, bukan E lembut yang agak dibaca ke arah U, menjadi EU.
“Pure? Mungkin maksud Ayah, yang Bahasa
Indonesianya Pura kan?” aku terkekeh.
“Ya, pokoknya itu, pureu,” ku bayangkan ayah
memelintir bibir saat menyebut pure dengan E lembut.
“Lalu yang kedua, Yah?” ujarku semakin
bersemangat.
“Yang kedua, selain mereka taat beragama, mereka
juga menghargai dan mempertahankan budaya yang mereka punya. Contohnya, di sana
ada sebuah mata air suci, namanya Mata Air Tampak Siring. Siapapun yang ingin
masuk ke sana harus memenuhi persyaratan. Tidak peduli yang ingin masuk ke sana
adalah orang besar, kiyai, bahkan presiden pun. Mereka yang perempuan harus
menggunakan songket khas Bali, sedangkan laki-lakinya harus menggunakan
selendang,”
Wow! Bukan hanya agama, tapi mereka juga peduli
pada budaya. Aku jadi teringat dengan kawan-kawan Minangku yang mulai buta adat
budaya. Yah, mungkin karena terkadang adat memang sedikit rumit. Namun yang
lebih membuat khawatir itu saat mereka melupakan bahasa. Jika bahasa hilang,
lalu apa tanda kalau mereka berasal dari sebuah adat dan kultur tertentu? Tak jarang
ku lihat ibu-ibu yang mengajarkan anaknya bahasa planet (bahasa Minang yang
dipaksakan menjadi bahasa Indonesia). Kalaupun ada yang menggunakan bahasa
Minang, kebanyakan mereka hanya menerjemahkan bahasa gaul ibukota menjadi
bahasa Minang, sehingga istilah kayak, pengen menjadi ada. Sehingga kata hubung
dan kata depan “jo”, “ka” dan “dek” semakin hilang dikikis bahasa dari sinetron-sinetron
dan FTV tak mendidik.
Kembali ke Bali, hebat benar mereka. Bahkan bule
pucat yang ingin menghitamkan kulit pun harus mengikuti persyaratan tadi.
Dengan kata lain, orang luar Bali harus mengikuti bagaimana orang Bali
berpakaian sebelum bisa menikmati objek wisata tersebut.
“Sekarang coba Habib lihat keadaan di daerah kita.
Melihat bule memakai baju sempit, anak-anak gadis kita lupa dengan baju kurung
mereka. Melihat bule memakai celana sebatas paha, anak-anak gadis kita juga
latah meniru agar terlihat sama,” ku dengar nada keprihatinan dari suara
beliau.
“Lalu yang ketiga, Yah?” ujarku tak ingin larut
dalam stres membayangkan bobroknya pergaulan anak muda.
“Hmm, yang ketiga adalah bagaimana mereka sangat
menghargai tamu. Setiap makanan selalu diberi label, mana yang boleh dimakan oleh
orang Islam, mana yang tidak. Yang halal diberi label halal, yang haram diberi
label rajawali,”
Nah itu dia toleransi. Pikirku. Kita menghargai
orang lain, namun apa yang menjadi identitas kita tidak dilupakan. Bahkan orang
lain yang kadang harus menyesuaikan jika mereka berada di daerah kita.
Mantap, tiga ilmu pokok yang bisa diambil dari
Bali sudah kudapat. Aku kemudian mengambil kesimpulan, bahwa daerah dengan
serangan budaya asing yang kuat, seperti Bali, akan memberikan reaksi yang tak
kalah kuat. Sebuah aksi, jika tidak menghancurkan objek, maka ia akan mendapat
reaksi yang tak kalah kuat dari objek.
Lihat bagaimana memang para turis membawa disain
pakaian yang jika dibandingkan dengan budaya kita, maka pakaian itu tak lebih
dari pakaian dalam. Malah masih jauh lebih baik jika karung goni digunakan.
Namun jangan khawatir, reaksi dari orang Bali pun tak kalah keras. Mereka
budayakan pula pakaian mereka. Bahkan para turis pun harus tunduk pada aturan
berpakaian tersebut.
Berbeda dengan daerahku, dan kebanyakan
daerah-daerah di Indonesia yang diberi serangan sepoi-sepoi oleh budaya Barat.
Bagai ombak lembut yang menyisir pantai, namun sejatinya ia mengikis sedikit
demi sedikit. Abrasi.
Dulu kata guruku, seorang wanita yang memakai
celana panjang saja bisa menjadi sasaran umpatan masyarakat, namun kini
perempuan yang hanya memakai celana kolor keluar rumah sudah dipandang wajar.
“Berarti kita punya PR besar, Yah,” ujarku sedikit
lesu. Bagaimana tidak? Negeriku mungkin punya banyak ulama, namun mereka tidak
memiliki satu misi. Tentu aku sudah pernah menuliskan bahwa visi harus sama,
meski misi harus berbeda-beda.
Ku catat tiga aspek yang kudapat dari ayah. Ada
agama, budaya, dan toleransi. Tiga hal yang sering disalahkaprahkan oleh mereka
yang sok tahu. Berlagak akademisi, namun otaknya seperti tong kosong tak
berisi. Sudah, sudah.
Tak mau lamunan panjang membuat pulsa komunikasi
internasionalku habis tak berarti, ku minta ayah untuk memberikan telepon
kepada adikku yang terkecil, Ejieb. Dan episode pembicaraan baru dimulai.
Dari masalah belajar, olahraga, hingga masalah
sejauh mana perkembangan pengetahuan agama adikku yang kini mulai berbadan
subur itu. Subur? Iya! Kini, saat ia berusia 10 tahun, duduk di kelas 4 SD,
berat badannya sudah mencapai 35kg. Aku saja saat kelas 6 SD hanya mampu mencapai
berat badan 24 atau 29kg, hmmm aku lupa.
Jaman berubah, ya. Aku semakin yakin kalau saat
aku pulang nanti, aku tak bisa lagi menggendong Ejieb. Namun sepertinya aku
masih punya kesempatan untuk mencubit pipinya yang masih akan tetap bulat.
***
Kairo, 27 Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar