Home » » Saat Rasa dan Logika Berseteru - Umrah dan Sedekah

Saat Rasa dan Logika Berseteru - Umrah dan Sedekah



Seorang kawan bertanya padaku, “Kenapa bisa-bisanya orang Mesir masih tetap begitu dermawan, padahal negara mereka sedang mengalami krisis ekonomi?”

Pertanyaannya berdasar, karena kami saat itu baru kembali dari sebuah jamuan buka puasa (mâidatur rahmân) di salah satu mesjid di Kairo, Masjid Ar-Rifa’i. Jamuan super, dengan menu nasi, ayam panggang, sayur, serta subya (sejenis minuman dari sari kelapa dan susu) yang memuaskan selera.

Aku tertegun. Melihat situasi ekonomi Mesir saat ini, hanya keajaiban yang bisa membuat mâidatur rahmân masih bertebaran di banyak titik Kairo. Mungkin krisis Mesir memang tidak seburuk krisis moneter yang dulu sempat melanda negeriku tercinta, namun krisis tetap saja krisis. Orang kaya Mesir tetap punya alasan untuk tidak mengadakan mâidatur rahmân di Ramadan tahun ini.

Ya, orang kaya, merekalah yang sebenarnya dan seharusnya menjadi donatur utama di tiap acara amal. Namun di Mesir, bukan hanya orang kaya, semua orang ingin ikut berpartisipasi memberi jamuan bagi orang yang berpuasa. Mereka sadar bahwa siapa yang memberi makanan pada satu orang yang berpuasa, maka ia seolah telah berpuasa dua kali. Nah, bagaimana jika yang ia beri jamuan berbuka itu lebih dari satu, dalam kasus Mesir, satu titik mâidatur rahmân bisa menampung kurang lebih 200 manusia?

Mesir, mereka memang sangat menyukai amal yang memberi dampak baik pada orang lain. Mereka ingin berarti bagi orang banyak. Menurut hematku, sebuah hadits mungkin terpajang di masing-masing rumah mereka. “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling berguna bagi manusia lainnya,”

***

Pikiranku melayang pada obrolanku tahun lalu dengan salah seorang seniorku di sini, Uda Zulfi. Beliau bercerita bahwa dulu beliau sempat ditawari bantuan dari salah satu pedagang di kota kami. Si pedagang, cerita beliau, memiliki dua rekening. Satu rekening untuk harta bersih dari keuntungan yang ia dapat dari berdagang. Sedangkan rekening lainnya adalah bunga dari rekening pertama. Ia tak ingin tabungan keuntungan dagangannya bercampur dengan bunga bank yang dihukum riba.

“Habib tahu tidak, berapa isi rekening kedua pedagang tersebut?” ujar Da Zulfi memancing rasa ingin tahuku.

“Berapa, Da?”

“Tujuh ratus juta,”

Waw! Jika bunganya saja bisa mencapai ratusan juta, lalu berapa tabungan pokoknya?

Jika pedagang di kota kecilku saja bisa menghasilkan begitu banyak uang, bagaimana dengan pedagang di kota lain yang lebih besar?

Jika ini baru kekayaan satu pedagang, lalu ada berapa pedagang di kotaku? Lebih jauh, di Indonesia?

Aku jadi terpikir, jika begitu banyak harta orang kaya, mengapa di negeriku masih banyak orang yang meminta-minta? Mengapa tidak sedikit masjid yang pengeluarannya lebih besar dari pada pemasukannya? Dan mengapa tidak ada mâidatur rahmân di Indonesia?

***

Orang kaya.

Satu hal yang ku lihat dari tingkah orang yang terlanjur kaya di seluruh pelosok dunia adalah, terkadang mereka bingung harus menghabiskan uangnya kemana.

Jika ia tak beragama, maka tentu ia akan habiskan uangnya untuk membeli sesuatu yang tak berguna. Jalan-jalan dan shopping ke Singapura, pergi ke salon binatang untuk merawat anjing kesayangan. Gila!

Jika orang kaya itu muslim, maka saat mereka bingung mau menghabiskan uang kemana, mereka akan daftarkan diri ke penyedia layanan umrah Ramadan, atau bisa jadi umrah bulanan. Tak jarang, ada yang setiap tahun mendaftarkan diri ke dalam paket haji plus. Haji setiap tahun! Luar biasa!

Bagi sebagian orang, melihat Ka’bah adalah sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Harus ku akui, itu benar. Setiap saat Ka’bah akan menyusup ke hati orang yang pernah melihatnya, membuat mereka ingin lagi dan lagi mengunjunginya. Tak heran, jika orang yang punya rezeki berlebih tak akan berpikir panjang untuk mengeluarkan uang demi bisa ke Mekah setiap tahun, bahkan kalau bisa setiap bulan. Yang penting rasa rindu terhadap rumah Allah bisa terobati.

Entah ini adalah salah da’i atau memang pribadi mereka, namun bagiku kebiasaan naik haji tiap tahun dan umrah tiap bulan adalah sebuah kebiasaan yang kurang bijaksana. Karena umrah dan haji adalah ibadah yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup.

Dan lagi, ini yang patut menjadi bahan renungan, apakah bersedekah itu lebih kecil pahalanya dari pada naik haji untuk kedua kalinya? Mengingat masih banyak, banyaaaaaaak sekali orang yang membutuhkan uluran tangan di negeri kita.

Aku yakin bahwa orang kaya di Indonesia lebih banyak dari pada orang kaya di Mesir. Namun mengapa jumlah yang sedikit di sini bisa menyediakan jamuan berbuka sekelas pesta setiap hari di bulan puasa? Dan mengapa di Indonesia, meski banyak orang kayanya, tidak terpikir untuk membuat hal serupa?

Makanya muncullah teori di kepalaku, bahwa orang Indonesia lebih mendahulukan isi hati (kerinduan pada Ka’bah) dari pada isi kepala (fakta angka kemiskinan di Indonesia). Sedangkan orang Mesir lebih mendahulukan isi kepala dari pada isi hati. Dan mendahulukan hati dari pada kepala, sering menunjukkan keegoisan pribadi. Apalagi jika hati yang dituruti itu bergelimang dosa.

Orang Mesir, ku lihat, lebih mendahulukan sedekah, sedangkan orang Indonesia lebih mendahulukan umrah. Tidak ada yang salah, namun sebagai orang cerdas, sebelum bertindak tentu sebaiknya juga menimbang menggunakan logika, mana yang harus didahulukan, mana yang bisa ditunda. Dalam bahasa Minangnya, tau raso jo pareso. Raso akan menimbang menggunakan hati, sedangkan pareso akan menimbang menggunakan otak.

Rindu rasanya jika orang-orang kaya di Indonesia bersatu mengumpulkan dana untuk membuat penginapan sehat bagi mahasiswa, sehingga mereka tidak lagi menginap di lokasi kos-kosan remang-remang. Terjebak pergaulan bebas, pacaran maksiat, narkoba menjerat. Sehingga para mahasiswa tinggal di lingkungan terjaga, dikontrol oleh pembina ramah dan disiplin. Kalau perlu, masing-masing yang tinggal di sana digratiskan, malah diberi beasiswa. Subhanallah!

Rindu rasanya jika orang-orang kaya di Indonesia bersatu mengumpulkan dana untuk memberi modal bagi para pengemis untuk berusaha. Tidak dengan uang tunai karena ia bisa habis untuk membeli barang-barang tak berguna. Namun lebih kepada hal-hal produktif. Yang bisa bawa motor dibelikan motor, dia bisa jadi tukang ojek. Yang bisa menangkap ikan dibelikan perahu, dia bisa jadi nelayan. Yang punya tenaga, dibelikan sepasang sapi, disuruh beternak. Yang tidak punya rumah, dibelikan rumah, sehingga negara kita bebas gelandangan.

Rindu rasanya jika orang-orang kaya di Indonesia bersatu mengumpulkan dana untuk membeli aset-aset negara yang kini dikuasai asing. Sebut saja sumber semen, minyak, maupun barang tambang lainnya yang kini memang tidak dinikmati secara langsung oleh orang Indonesia.

Jika dana puluhan juta yang dikeluarkan untuk umrah atau haji sunnah tadi dipusatkan untuk kegiatan sosial, siapa bisa membendung kejayaan yang akan kita dapatkan? Puluhan juta itu baru dari satu orang kaya, bagaimana jika dua? Tiga? Seribu? Masihkah tidak mungkin kita beli kembali Indonesia dari penjajah berlabel investor?

Bukankah salah satu organisasi penggerak kemerdekaan kita dahulu bernama Sjarikat Dagang Islam, perkumpulan pedagang muslim yang cinta Indonesia, dan bercita-cita mengusir Belanda. Dan bukankah kemerdekaan yang kita rasakan saat ini, harus diakui, selain jasa para pahlawan yang angkat senjata, juga merupakan jasa dari mereka para orang kaya?

Namun mereka kaya, mereka bersatu, mereka peduli pada amal sosial. Bersatu dan peduli sosial, ini yang mungkin perlu ditambah dosisnya di dalam darah orang kaya yang kini kita punya.

***

“Mungkin ide seperti itu belum terpikir oleh mereka yang punya banyak rezeki berlebih, Bib. Mungkin mereka membutuhkan Habib untuk pulang dulu, menyampaikan gagasan, kemudian aksi bisa langsung dijalankan,” ujar ibu sewaktu ku ceritakan perbedaan orang kaya Indonesia dan orang kaya Mesir. Ya kurang lebih seperti ceritaku di atas.

Ide, gagasan. Ah, ya!

Terkadang, kita punya kemampuan, punya kuasa, namun tak punya ide yang akan mengendalikan kemampuan yang kita punya. Dan kini, aku punya gagasan, namun tak punya kuasa. Uang jajan saja aku masih minta pada orang tua, bagaimana mungkin aku bisa melaksanakan gagasan besar telah ku pikirkan sedemikian rupa? Aku hanya berdoa semoga suatu saat aku bisa menjadi orang kaya yang bisa memberi manfaat banyak bagi orang lain.

Jika ibu mengharapkan kepulanganku terlebih dahulu untuk mewujudkan gagasanku, maka ku pikir itu akan memakan waktu terlalu lama. Makanya, ku tuliskan gagasan ini agar seseorang di sana bisa mewujudkan persatuan orang kaya yang sangat dermawan sehingga tidak ada satupun orang miskin di negara kita yang tidak makan. Agar seseorang di sana bisa mewujudkan perserikatan pedagang yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan sehingga pemerintah tidak lagi disibukkan dengan masalah pengangguran.

Semuanya kembali pada pemahaman bahwa menghadapi masalah komplek di Indonesia, pertimbangan logika harus dikedepankan dari pada gejolak di dalam dada. Dalam kasus ini, pertimbangan logika dalam bersedekah sebaiknya didahulukan dari pada rasa rindu pada Ka’bah yang menyebabkan setiap bulan umrah.

Karena ibadah yang paling baik, setelah kewajiban dilaksanakan, sebenarnya adalah ibadah yang memberi kemaslahatan bagi orang banyak. Semakin banyak yang mendapat manfaat, semakin banyak pahala unlimited yang didapat. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

Semoga gagasan kecil ini bisa terwujud, semoga kejayaan Islam bisa mengikut.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

***

Kairo, 11 Juli 2014

1 komentar:

  1. Setuju bapak.Artikel yang sangat mengugah..
    saya juga membayangkan ora kaya di RI seperti di mesir,tentu indah

    BalasHapus

 
Support : Facebook | Twitter | Google+
Copyright © 2013. Al-Fatih Revolution Brotherhood - Tolong sertakan sumber saat mengutip :)
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger