"Ah, apa ku bilang soal demokrasi, memang bikin gila saja. Democrazy, lihat saja itu kelakuan mereka," ucap Da Sidi di kedai kopi Ni Ati. Tayangan televisi tentang demo reformasi di Mesir memang sangat mengkhawatirkan.
Ku comot goreng pisang kesukaanku. Ah, 7 tahun di Mesir, goreng pisang adalah makanan yang sulit di dapat.
"Hei, Buya! Kenapa Buya diam saja? Buya bagilah pengalaman Buya selama di Mesir dengan kami," sela Majo, kawan sepermainanku dulu yang kini sudah beranak dua.
Ku seruput sedikit kopi kentalku yang mulai dingin,
"Majo, Aku di Mesir dulu untuk kuliah, ya untuk bisa berbakti lah pada nagari kita ini. Aku tak begitu peduli dengan hiruk pikuk perpolitikan Mesir. Apa faidahnya Majo? Bukankah lebih baik jika aku belajar ilmu falak agar masjid di kampung kita tak bingung lagi dengan perbedaan hari idul fitri?" ujarku datar.
Da Sidi, Majo, Nyiak Kuto dan beberapa pengunjung kedai sejenak terdiam, bahkan Ni Ati yang tadi sibuk di belakang menongol di balik pintu, tertarik sekali mungkin dengan ceritaku yang baru pulang,
"Lalu kau mau bilang kalau kau tak paham situasi masyarakat disana Buya?" tanya Nyiak Kuto.
"Bukan berarti begitu Nyiak. Aku tentu memahami arah perpolitikan, situasi sosial dan keadaan masyarakat disana. Hanya saja, urusan politik aku tak ingin ikut campur. Toh jika pun aku ikut nimbrung, politikus Mesir tak akan menggubris. Bukankah aku bukan siapa-siapa disana?" aku kembali menyeruput kopiku.
"Tapi satu hal yang bisa aku pastikan, yah, menurut pengalamanku disana. Jika bukan karena Al-Azhar, maka orang-orang Mesir tak ubahnya bagai Firaun yang benci dengan syariat, atau Haman sang penjilat, atau Qarun si pelit yang sakunya berjahit," kembali aku berujar.
"Makanya, mahasiswa yang memang mahasiswa tak akan kena dampak dari demo disana, jika tak ambil posisi atau mengeluarkan pernyataan macam-macam. Ada Al-Azhar yang akan melindungi mereka Nyiak,"
Aku kembali mencomot pisang gorengku yang tinggal sepotong kecil. Hap! Semua mata kembali ke tayangan televisi.
***
Kau tahu kawan, aku memang sangat tertarik dengan isu politik,
Namun urusan mengambil posisi, ini cerita lain,
Politik dengan balutan media tak jelas akan menghasilkan pandangan abu-abu, dan aku tak suka yang abu-abu,
Biarlah kini sebagai mahasiswa aku lakukan tugasku sebagai mahasiswa,
dan Biarlah para politikus kerja, (hei, hei! Kerja!! Jangan tidur!!)
Bekerjalah sesuai posisimu, aku juga fokus di bagianku, bukankah Al-Quran bilang begitu?
Dan sebagai Muslim, berdoa adalah tugas kita semua,
Kau tanya apa doaku kawan?
Simpel,
Doaku,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
Ku comot goreng pisang kesukaanku. Ah, 7 tahun di Mesir, goreng pisang adalah makanan yang sulit di dapat.
"Hei, Buya! Kenapa Buya diam saja? Buya bagilah pengalaman Buya selama di Mesir dengan kami," sela Majo, kawan sepermainanku dulu yang kini sudah beranak dua.
Ku seruput sedikit kopi kentalku yang mulai dingin,
"Majo, Aku di Mesir dulu untuk kuliah, ya untuk bisa berbakti lah pada nagari kita ini. Aku tak begitu peduli dengan hiruk pikuk perpolitikan Mesir. Apa faidahnya Majo? Bukankah lebih baik jika aku belajar ilmu falak agar masjid di kampung kita tak bingung lagi dengan perbedaan hari idul fitri?" ujarku datar.
Da Sidi, Majo, Nyiak Kuto dan beberapa pengunjung kedai sejenak terdiam, bahkan Ni Ati yang tadi sibuk di belakang menongol di balik pintu, tertarik sekali mungkin dengan ceritaku yang baru pulang,
"Lalu kau mau bilang kalau kau tak paham situasi masyarakat disana Buya?" tanya Nyiak Kuto.
"Bukan berarti begitu Nyiak. Aku tentu memahami arah perpolitikan, situasi sosial dan keadaan masyarakat disana. Hanya saja, urusan politik aku tak ingin ikut campur. Toh jika pun aku ikut nimbrung, politikus Mesir tak akan menggubris. Bukankah aku bukan siapa-siapa disana?" aku kembali menyeruput kopiku.
"Tapi satu hal yang bisa aku pastikan, yah, menurut pengalamanku disana. Jika bukan karena Al-Azhar, maka orang-orang Mesir tak ubahnya bagai Firaun yang benci dengan syariat, atau Haman sang penjilat, atau Qarun si pelit yang sakunya berjahit," kembali aku berujar.
"Makanya, mahasiswa yang memang mahasiswa tak akan kena dampak dari demo disana, jika tak ambil posisi atau mengeluarkan pernyataan macam-macam. Ada Al-Azhar yang akan melindungi mereka Nyiak,"
Aku kembali mencomot pisang gorengku yang tinggal sepotong kecil. Hap! Semua mata kembali ke tayangan televisi.
***
Kau tahu kawan, aku memang sangat tertarik dengan isu politik,
Namun urusan mengambil posisi, ini cerita lain,
Politik dengan balutan media tak jelas akan menghasilkan pandangan abu-abu, dan aku tak suka yang abu-abu,
Biarlah kini sebagai mahasiswa aku lakukan tugasku sebagai mahasiswa,
dan Biarlah para politikus kerja, (hei, hei! Kerja!! Jangan tidur!!)
Bekerjalah sesuai posisimu, aku juga fokus di bagianku, bukankah Al-Quran bilang begitu?
Dan sebagai Muslim, berdoa adalah tugas kita semua,
Kau tanya apa doaku kawan?
Simpel,
Doaku,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar