Oleh : Fakhry Emil Habib
Urusan merangkai kata dalam sastra, aku bukanlah ahlinya,
Namun kawan, saat kau bertanya bagaimana cara menulis yang baik, maka akan ku sarankan,
"Kenapa tidak mengambil pelajaran dari dua jagoan
pujangga Indonesia?"
Siapa lagi kalau bukan Bapak Taufik Ismail dan Buya HAMKA,
Apa ciri khas dari karya mereka?
Beliau berdua menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tiap karyanya,
Biar ku perjelas,
Ada beberapa kata yang dianggap bahasa Indonesia oleh sebagian orang, namun bukan ternyata,
Buya Hamka dan Bapak Taufik Ismail tidak pernah menggunakan "kayak" sebagai ganti "seperti" dan "bagai",
Beliau tidak pernah menggunakan "pengen" sebagai ganti "ingin" dan "mau",
Beliau juga tidak pernah menggunakan "sama" untuk kata ganti "dan", "untuk", "kepada", dan "dengan",
Istilah serapan kontemporer juga tidak pernah mereka gunakan kecuali jika memang sangat dibutuhkan,
Eksistensi, diabolisme, dikotomi, implikasi, euforia,
Kata-kata seperti ini akan membuat penikmat sastra merasa membaca makalah teori relativitas yang membuat kening berlipat tiga,
Dan karena menghindari hal inilah, karya beliau terasa renyah dan mudah dicerna,
Oh, ya,
Dengan sedikit bumbu sajak, keindahan sebuah sastra akan lebih berasa,
Tak heran karena Buya Hamka dan Bapak Taufik Ismail memiliki latar belakang pesantren yang mempelajari gaya penulisan sastra Arab yang umumnya memiliki pola akhir kata yang berbunyi sama,
Mungkin kau akan bilang kalau aku asal bicara,
Atau, "ini bukan lagi era keemasannya Buya HAMKA!"
Hei, hei,
Coba kau perhatikan karya sastra Andrea Hirata, Pujangga muda yang lihay memainkan aksara,
Bahkan saat ini, untuk kalangan penulis muda, menurutku ia nomor satu di Indonesia,
Buktikan saja,
Apakah yang ku tulis nyata adanya, ataukah hanya isapan jempol belaka?
Terakhir,
Satu hal yang paling penting dalam menulis sastra, banyaklah membaca,
Karena dengan membaca, kau bisa menambah perbendaharaan kata,
Matamu juga akan semakin terbuka tentang betapa luasnya dunia,
Karena membaca dan menulis bagi seorang pelajar dan mahasiswa,
Bukan hanya sekedar hobi, namun harusnya seperti nafas, menghirup dan menghembuskan udara,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
*bukan menggurui, namun hanya sekedar berbagi,
Urusan merangkai kata dalam sastra, aku bukanlah ahlinya,
Namun kawan, saat kau bertanya bagaimana cara menulis yang baik, maka akan ku sarankan,
"Kenapa tidak mengambil pelajaran dari dua jagoan
pujangga Indonesia?"
Siapa lagi kalau bukan Bapak Taufik Ismail dan Buya HAMKA,
Apa ciri khas dari karya mereka?
Beliau berdua menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tiap karyanya,
Biar ku perjelas,
Ada beberapa kata yang dianggap bahasa Indonesia oleh sebagian orang, namun bukan ternyata,
Buya Hamka dan Bapak Taufik Ismail tidak pernah menggunakan "kayak" sebagai ganti "seperti" dan "bagai",
Beliau tidak pernah menggunakan "pengen" sebagai ganti "ingin" dan "mau",
Beliau juga tidak pernah menggunakan "sama" untuk kata ganti "dan", "untuk", "kepada", dan "dengan",
Istilah serapan kontemporer juga tidak pernah mereka gunakan kecuali jika memang sangat dibutuhkan,
Eksistensi, diabolisme, dikotomi, implikasi, euforia,
Kata-kata seperti ini akan membuat penikmat sastra merasa membaca makalah teori relativitas yang membuat kening berlipat tiga,
Dan karena menghindari hal inilah, karya beliau terasa renyah dan mudah dicerna,
Oh, ya,
Dengan sedikit bumbu sajak, keindahan sebuah sastra akan lebih berasa,
Tak heran karena Buya Hamka dan Bapak Taufik Ismail memiliki latar belakang pesantren yang mempelajari gaya penulisan sastra Arab yang umumnya memiliki pola akhir kata yang berbunyi sama,
Mungkin kau akan bilang kalau aku asal bicara,
Atau, "ini bukan lagi era keemasannya Buya HAMKA!"
Hei, hei,
Coba kau perhatikan karya sastra Andrea Hirata, Pujangga muda yang lihay memainkan aksara,
Bahkan saat ini, untuk kalangan penulis muda, menurutku ia nomor satu di Indonesia,
Buktikan saja,
Apakah yang ku tulis nyata adanya, ataukah hanya isapan jempol belaka?
Terakhir,
Satu hal yang paling penting dalam menulis sastra, banyaklah membaca,
Karena dengan membaca, kau bisa menambah perbendaharaan kata,
Matamu juga akan semakin terbuka tentang betapa luasnya dunia,
Karena membaca dan menulis bagi seorang pelajar dan mahasiswa,
Bukan hanya sekedar hobi, namun harusnya seperti nafas, menghirup dan menghembuskan udara,
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
*bukan menggurui, namun hanya sekedar berbagi,
Apakah seorang agnes davonar, chairil anwar, raditya dika, dan para pemuda indonesia yang membuat novel n menulis kata di twitter juga termasuk pujangga ? Atau mereka hanya pujangga biasa. Mohon dijawab karena setau saya pemilik akun di twitter yang kata2 nya bagus itu banyak yang melahirkan karya sastra seperti novel
BalasHapus