Ku pejamkan mata sejenak, membangkitkan memori, merangkai tiap
kalimat yang ku dengar dua bulan terakhir, sejak aku memutuskan untuk
"memanjakan" rambutku, memberikan mereka kesempatan untuk tumbuh lebih
panjang.
“Panjang na rambuik goh, ndak shaliah bantuak do!” (“Rambutnya udah panjang banget, gak kayak anak sholeh!”)
“Iko a ko? Sarang balam?” (“Apaan nih? rambut apa sarang burung balam?”) *yang satu ini aku agak tersinggung meski tetap tersenyum.
“Potong lah rambut tu gi, ndak bagus do, kalo lurus jadi lah, ini rambutnya kayak gini!” (Bahasa yang aku tak tahu riwayatnya, artinya “Pangkas rambut sana, gak bagus kayak gini, kalo rambut kamu lurus, fine!
Tapi rambut kamu kayak gini!”) *yang ini ku timpali dengan mengacak
rambut sendiri sambil tertawa mendengar “bahasanya”, walau sebenarnya
aku sangat, sangat, sangat tersinggung.
“Karibo??” (WTF!!) *Wow That's Fantastic
Ku pencet tuts demi tuts keyboard VAIO-ku, untuk mereka yang risih dengan perbedaan, meributkan keragaman, mencaci takdir yang mereka tak rasakan.
Mungkin mereka berpikir bahwa rambutku, yang ikal dan bergelombang,
yang tebal dan hitam legam, yang tidak lurus tegang (seperti sapu nilon)
seperti mereka adalah sebuah “musibah”, memalukan, sesuatu yang buruk,
sesuatu yang tidak pantas untuk diperlihatkan. Namun ada yang mereka
lupakan, bahwa bukan aku yang memilih untuk memiliki rambut ini, namun
Dialah yang menganugerahiku mahkota ini. Mahkota yang ku banggakan meski
mahkotaku dan mahkota mereka tak bisa disamakan. Dan ada satu hal yang
lebih penting yang mereka lupakan, bahwa aku bersukur dengan rambutku
yang kadang berantakan.
Bersukur dengan keadaan rambutku? Mungkin jika tiba-tiba mereka
terbangun dan menemukan bahwa rambut mereka telah berubah menjadi
seperti rambutku, akan sangat sulit untuk bersukur. Namun bagiku,
rambutku adalah yang terbaik, setidaknya aku punya 3 alasan "mengapa".
Yang pertama, rambut ikal, adalah rambut natural Bangsa Indonesia, adalah rambut yang berada di middle track berbagai
macam rambut dari beraneka ragam ras yang ada di dunia. Ada rambut
lurus, ada rambut keriting, dan ada juga rambut ikal bergelombang,
seperti punyaku.
Seperti halnya lidah Indonesia yang selalu cocok dan sesuai dengan
berbagai macam dialek dan logat di seluruh dunia, maka rambutku adalah
rambut yang fleksibel untuk dibawa ke mana saja. Rambutku pun berwana
hitam, warna netral yang akan selalu matching dipadukan dengan warna apa saja.
Yang kedua, rambut ikal, -jika dikaji secara genetis
dan historis, dan jika diteliti dengan metode komparatif dengan rambut
penduduk negeri tempatku menuntut ilmu saat ini-, adalah warisan dari
proses masuknya Islam ke Indonesia yang di bawa oleh pedagang sekaligus
ulama dari Arab, yang pastinya sangat jarang memiliki rambut lurus. Lalu
apakah aku tak pantas untuk bersyukur jika leluhurku (bisa jadi) adalah
ulama yang berjasa membawa Islam ke Indonesia? Think again..
Lalu aku tak tahu, tiba-tiba ada pertanyaan yang masuk secara halus
dalam benakku, rambut mereka (yang tidak nyaman melihat rambutku) itu
warisan siapa? Aku yakin mereka tak ingin membayangkannya.
Yang ke tiga, rambutku yang ikal, hitam, dan tebal,
adalah rambut yang kuat dan susah rontok. Meski dahiku lebar, bukan
berarti itu akibat kerontokan, namun lebih dikarenakan faktor genetis
rumit yang mungkin tak bisa dipahami oleh mereka yang terjangkit virus
skeptis. Jarang sekali ku temukan helaian rambutku di bantal, di sisir,
ataupun di kamar mandi.
Tak bisa ku ungkapkan dengan kata, betapa bersyukurnya aku dengan
rambut yang ku miliki. Dan aku juga berharap, Kau menemukan ribuan
alasan untuk bersyukur atas apa yang Kau punya.
Aku masih punya banyak alasan kenapa aku merasa bersyukur dengan
rambutku. Namun apa perlu ku ungkap semua, jika mereka telah sadar bahwa
aku merasa senang dengan keadaanku saat ini?
Jika aku mau, bisa saja aku memberi penjelasan yang membuat mereka
menyesal terlahir dengan rambut yang mereka miliki, yang membuat mereka
mencaci-maki leluhur yang telah mewariskan gen di dalam tiap sel yang
mereka bawa. Tapi kawan, itu bukan caraku, biarlah mereka sadari
sendiri, bahwa tiap manusia memiliki kelebihan, dan tiap kelebihan
memiliki pertanggungjawaban.
Aku hanya ingin, aku, kamu, dan kita semua sadar bahwa semua ciptaan
Allah itu indah. Semua ciptaan-Nya adalah yang terbaik. Semua
ciptaan-Nya juga akan binasa.
Dan tentu, aku tak ingin lagi, kata-kata tak mengenakkan hinggap di
telingaku, ataupun telinga mereka yang sama denganku, hanya karena
sesuatu yang bukan pilihan kami, hanya karena “sesuatu” yang tersimpan
jauh di dalam tiap sel di dalam tubuh kami.
Aku tahu, bahwa mungkin ada di antara mereka yang tidak suka dengan
apa yang ku tulis. Namun biarlah, karena tulisanku adalah pilihanku,
bukan sesuatu yang ku bawa sejak lahir. Silakan dikritik, asal bertujuan
untuk membuatku lebih baik. Terimakasih karena telah mendengar curahan
kalbuku, meski diksi dan prosaku tidak menarik.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi labih baik.. ^_^
*Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan…
0 komentar:
Posting Komentar