“Bib, maskawin dalam pernikahan itu bukanlah harga seorang wanita, kan?”
Tiba-tiba pertanyaan yang dulu ditanyakan ibu terbesit di dalam benak,
membuatku terhenti membaca diktat ilmu fikihku sejenak. Lama sudah ibu
menanyakan hal itu, jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sini, di Bumi Para
Nabi.
Aku yang saat itu masih bocah ingusan, baru tiga setengah tahun menimba
ilmu di Parabek, tentu tertegun beberapa saat mencerna pertanyaan ibu. Ibu
masih memasang wajah menanti jawaban.
“Setahu Bib, pernikahan itu bukan sebuah akad jual beli, bu,” jawabku.
“Lalu?”
Aku terdiam sejenak.
“Maskawin itu hanyalah simbol berpindahnya kewajiban berbakti seorang
wanita, dari ayahnya kepada suami,” ujarku.
“Berarti maksud Bib, besar kecilnya maskawin tidak menentukan tinggi
rendahnya harga wanita?”
“Tentu tidak, Bu. Jika maskawin adalah patokan harga seorang wanita, maka
tak akan ada seorang pun yang akan mampu ‘membeli’ wanita hebat seperti ibu,”
ujarku mantap.
Air muka ibu berubah senang. Ku lihat kecemasan yang tadi menggelayut di
mata beliau kini telah hilang.
“Memangnya, ada apa sehingga ibu bertanya?” kini giliran aku yang
penasaran. Perhatianku ke televisi teralihkan, karena sepertinya ibu ingin
bercerita panjang.
“Dulu, saat akan menikah, ayah tidak menyiapkan maskawin khusus untuk ibu,”
“Lalu?” sekarang giliran aku yang menjadi tidak sabar menanti inti dari
cerita ibu.
“Sebelum masuk ke kantor KUA, ayah menanyakan, ‘Apakah mahar sebesar
Rp500,- cukup, Af?’. Ibu hanya menjawab, ‘Besar kecilnya mahar tidak penting
untuk Af, Da,’. Dan akad pun berlanjut, dengan mahar sebesar Rp5000,-. Ayah
tidak tega hanya memberi 500 perak untuk ibu,”
Aku sedikit terkejut.
“Rp5000,- dulu jika dibandingkan dengan uang sekarang berapa, Bu?” aku
bertanya. Bagiku adalah sebuah keajaiban bahwa ternyata maskawin ibu dulu bukan
seperangkat alat shalat dibayar tunai.
“Sekitar Rp50.000,-,”
Aku terdiam. Kecil sekali maskawin ibu. Bahkan kalaupun lebih kecil dari
itu, ibu akan menerima, karena beliau tidak pernah mensyaratkan besar maskawin
kepada ayah. 50 ribu adalah uang yang sedikit, bahkan tak bisa untuk membeli
mukena berkualitas bagus.
“Yang menjadi pikiran ibu adalah wanita sekarang, Bib. Beberapa kenalan
kita, yang akan menikah, mematok maskawin yang tinggi, dengan alasan bahwa
maskawin itu adalah harga yang harus dibayar calon suami,” aku jadi teringat
dengan banyaknya orang-orang di sekitarku yang melaksanakan pernikahan saat
itu.
“Berarti wanita seperti itu adalah wanita matre, Bu. Mau saja dirinya
dihargai dengan uang. Makanya, Bib sudah katakan, jika maskawin adalah harga,
maka ayah tak akan pernah bisa menikahi Ibu,” ujarku mantap. Aku sedikit tak
menyangka kata-kata seperti itu bisa mengalir dari mulutku yang masih berusia
16 tahun.
Percakapanku dan ibu sore itu singkat, namun sangat berkesan. Pikiranku
melayang menerawang bagaimana hebatnya ibuku sebagai seorang istri, pun sebagai
seorang ibu.
Tak perlu rasanya aku sebutkan secara detail bagaimana pintarnya ibu
mengatur keuangan keluarga, atau bagaimana lihainya beliau mengurus segala
urusan rumah tangga. Masak, bersih-bersih, mengurus 4 anak lelakinya. Ayah
selalu katakan, “Perhatikan bagaimana giatnya ibumu! Kalian akan tahu kenapa
surga ada di telapak kakinya,”
Kini, saat aku ada di pusat keilmuan Islam dunia, aku dapati sebuah hadits
yang luar biasa, yang membuatku yakin bahwa ibuku memang bukan wanita
sembarangan. Karena Rasulullah Muhammad Saw lah yang menjamin bahwa ibuku
adalah wanita luar biasa yang membawa banyak berkah.
“Wanita yang paling banyak membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit
maharnya,” begitulah terjemahan hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh
Sayyidah Aisyah R.A.
Ternyata Islam dari awal telah mewanti-wanti agar para lelaki menjauhi
wanita pemuja materi (matre). Lalu dari mana kita bisa mengetahui apakah seorang
wanita itu matre atau tidak? Lihat dari besar mahar yang ia inginkan. Besar
mahar berbanding terbalik dengan kualitas calon istri.
Sebenarnya wanita matre sekarang bisa saja menyembunyikan tabiat aslinya, mematok
maskawin rendah, karena tahu adanya hadis ini. Namun setelah menikah, ia peras
suaminya sampai kurus.
Makanya aku begitu salut kepada ibu. Beliau tidak belajar agama, beliau tidak
tahu hadis ini. Beliau tidak mematok besar-kecilnya maskawin. Berapapun yang
ayah berikan, beliau rela. Kerelaan jujur dari seorang wanita sederhana yang matanya
tidak silau oleh harta.
“Jika ayah tidak menikah dengan ibu, pasti ayah bukan siapa-siapa
sekarang,” aku bergumam.
Mataku kembali ditarik oleh diktat yang sedari tadi merasa diacuhkan oleh
lamunanku. Kembali ku lanjutkan perjuangan melahap lembar demi lembar bekal
yang akan kuberikan nanti kepada masyarakat, saat aku kembali.
***
Kairo, 09 Mai 2014
NEW INFO
BalasHapusSelamat Pagi!
HIS Kologdam pada hari Sabtu,31 Agustus 2019
pukul 11.00-14.00 akan mengadakan Test Food loh,
bagi kaka-kaka yang sedang mencari gedung pernikahan beserta paket nya yang lainnya dalam mempersiapkan acara pernikahannya boleh dateng kok, acara ini GRATIS!
Disana kaka-kaka bisa review tentang vendor-vendor yg bekerjasama dengan HIS Kologdam dan sharing tentang periapan pernikahan kaka-kaka dengan wedding consultant terbaik dari HIS Kologdam.
Dateng yuuuuk, karena akan ada doorprize serta bonus yang menarik loh seperti Logam Mulia 10Gram!!
Langsung hubungi ke,
ROSIANTI
085624295686 (WA)
rosi.hiskologdam (Instagram)
rosianti.hiscorp@gmail.com (e-mail)