“Bang, anakku menjadi korban,” suara lirih Joni membuat batinku remuk.
Anaknya sudah bagaikan anakku. Dia sudah bagai saudaraku. Dan kini hal buruk
menimpanya.
Ku tahan emosi yang meledak-ledak di dada. Aku tahu, kemarahan membabi buta
tidak akan menyelesaikan masalah saat ini.
“Ka..kau sudah lapor polisi Jon?” suaraku bergetar. Meski ku tahan, tubuhku
berkhianat.
“Belum, Bang,” suara seraknya terdengar putus asa.
“Bagus. Jangan kau lapor polisi! Biar aku yang urus!” ku putuskan
sambungan. Di kepalaku berkecamuk 1001 cara pembunuhan keji.
***
Aku tahu ini penyakit menular, dan aku tahu, cepat atau lambat orang-orang
yang aku kenal bisa saja menjadi korbannya.
Ku seruput kopi kental sambil menonton televisi. Berita. Tragedi pencabulan
bocah terjadi. Seorang bocah 5 tahun disodomi oleh anak SD berumur 13 tahun.
Tiba-tiba aku merasa jijik dengan sarapan yang terhidang di hadapanku. Emosiku
kembali membuncah, teringat suara parau Joni yang anaknya mengalami musibah
serupa.
Kurang gila apa lagi zaman sekarang? Anak 5 tahun sudah menjadi korban
kejahatan seksual. Tahu apa anak umur 5 tahun? Mungkin dia hanya menganggap itu
hanya kekerasan biasa. Tapi saat dia sudah lebih besar, dia akan sadar kalau
itu adalah pelecehan seksual. Dan besar kemungkinan dia juga akan menjadi
pelaku jika tidak ditangani dengan serius.
Ku pacu sepeda motorku ke rumah Joni. Toko kuserahkan pada Mai, istriku
yang kini tengah mengandung tiga bulan. Kadang, aku merasa pesimis dengan dunia
yang akan dihadapi anakku kelak.
Penjahat kelamin itu, Kanton, sudah kami beri pelajaran. Ku buat dia babak
belur, dan ku ancam, jika aku dengar lagi dia melakukan perbuatan nista itu,
akan ku lempar dia ke laut setelah ku ikat dengan batu.
Hari ini, aku, Joni dan istrinya berniat ke kantor polisi untuk mengajukan
gugatan. Aku tidak tenang jika Kanton sialan itu masih berkeliaran. Cukup kami
yang merasa sakitnya musibah ini. Kami tak ingin ada anak-anak lain yang
menjadi korban trauma berkepanjangan.
Rumah Joni terlihat suram. Istrinya pucat, terlihat tak tidur semalaman.
Aku disambut Joni dengan senyum berat yang dipaksakan. Aku tahu ia tak pernah
puas dengan hanya sekedar membuat Kanton si penjahat kelamin itu babak belur.
“Bang, biar aku dan Abang saja yang ke kantor polisi. Kasihan istriku. Biar
dia di rumah, menenangkan diri. Dia tidak bisa tidur sudah dua hari,”
“Tidak, Jon. Polisi
tidak menyelesaikan masalah. Paling lama 15 tahun kurungan, dan setelah itu dia
akan kembali beraksi. Kita selesaikan ini dengan caraku,”
“Maksud Abang?”
***
02.30 dini hari.
Mataku masih belum bisa terpejam. Naluri membunuhku kembali menyala. Orang
menganggap bahwa semua orang Sumatera Utara itu tempramental, mudah tersulut
emosi. Tapi aku memahaminya tidak demikian. Bukankah setiap orang, tanpa
memandang ras, juga punya emosi?
Darah yang mengalir di nadiku adalah darah terhormat, yang tidak rela
diinjak-injak. Jangankan tenaga, harta, nyawapun akan ku korbankan demi harga
diri yang kujunjung tinggi. Dan Kanton mencari gara-gara dengan orang yang
salah.
Kecamuk cara pembunuhan sadis yang sempat terlintas di otakku kembali
membayang. Bisa saja ku potong jarinya satu demi satu sebelum membunuhnya.
Aku bukannya tidak tahu agama. Aku tahu membunuh dianggap dosa besar
dilihat dari agama manapun. Namun tidak bagi orang-orang yang telah melakukan
beberapa hal yang membuat nyawanya tidak lagi berharga. Dan aku tahu bahwa
agama manapun mengecam keras penjahat kelamin dengan ganjaran kematian.
Dalam agama Yahudi, pelakunya dibunuh secara sadis. Darahnya disiram ke
tubuhnya sendiri. Kristen, Islam, semuanya menganggap homoseksual sebagai
kekejian level akhir yang lebih parah dari pada hewan. Aku tahu, bahwa hak
hidup pelaku dosa besar sudah kadaluarsa. Aku tahu, kalaupun aku membunuh
Kanton, aku tak berdosa.
Tapi tetap saja terlalu berrisiko. Aku tak ingin tanganku kotor hanya untuk
menyingkirkan satu bajingan. Aku tak ingin berurusan dengan aparat kepolisian.
Yah, terkadang hukum manusia dan hukum tuhan bertentangan.
“Abang masih bangun?” Mai sudah duduk di pinggir dipan. Aku sedikit
terkesiap, mungkin karena pikiranku sedang liar.
Perutnya yang masih belum terlihat besar tetap menyimpan harapan besar
bagiku. Aku tak ingin anakku menjadi korban ganasnya dunia yang berkoar melawan
kriminal, namun malah membiarkan mereka merajalela. Aku tak ingin ada kesedihan
tergurat di wajah Mai. Aku ingin membuat dunia dimana anakku bisa bebas
bermain, tanpa khawatir ada hal buruk yang bisa menimpanya.
Ku cium kening Mai, “Iya Mai. Aku tak bisa tidur,”
***
Topi dan kaca mata hitam, andalanku untuk apa yang akan kulakukan hari ini,
sore ini, saat suasana Pasar Bringharjo sedang ramai-ramainya. Gerah, bisa ku
lihat dari wajah ibu-ibu yang berjalan tertatih serta para kuli angkat yang
sudah mulai duduk-duduk di gerobak-gerobak mereka.
Aku mencengkram tengkuk Kanton. Tadi malam kami sudah memberinya pelajaran
yang tidak akan pernah dilupakan seumur hidupnya. Kami buat dia tidak bisa
menjadi penjahat kelamin selama-lamanya.
Beberapa kawan sudah ku suruh menempati beberapa posisi. Masing-masing ku
beri tugas yang akan membuat masalah ini selesai selama-lamanya. Semuanya sama, bertopi dan kaca mata hitam.
“Nton, kau lihat ibu-ibu yang berjalan di sana?” aku menunjuk seorang
ibu-ibu gemuk dengan tas pandan penuh belanjaan.
“I..iya, Bang,” wajahnya pucat. Aku tahu, setelah kejadian tadi malam ia
tak akan pernah mau lagi menganggap aku bermain-main. Ia akan selalu menurut
apa yang ku perintahkan.
“Kau jambret dia, dan kau lari ka jalan sepi di sana! Kau paham?”
Kanton mengangguk-angguk gemetar.
“Jalan!”
Sementara Kanton berjalan mengintai si ibu-ibu, aku berjalan gontai menuju
salah seorang kuli angkat, seorang pria muda. Ku keluarkan rokok kretekku.
Tanpa filter.
“Maaf, Mas. Ada korek?” ku lepas kaca mata hitamku.
Ku nyalakan rokok, cepat mengembalikan korek kepada si pemuda. Namun
tiba-tiba pasar menjadi gaduh.
“Jambret! Jambret! Tolong!”
Kanton lari, terseok. Rencanaku dimulai dari sini. Joni mengejar si
penjambret, Kanton, menungkai membuatnya jatuh terjerembab.
“Bakar! Bakar!” Joni berteriak lantang.
Massa mulai mengepung Kanton, ia tak bisa lagi kabur. Sore yang panas,
lelah, ditambah dengan penjambret yang tertangkap basah. Orang-orang di pasar
ini pasti ssulit mengendalkan emosi mereka. Beberapa kuli ikut memukuli sampai
Johan datang mambawa sejeriken bensin, “Bakar!”
“Mas, ada apa di sana, Mas?” kuli yang tadi ku pinjam koreknya bertanya.
“Ah, biasa. Penjambret yang biasa beraksi tertangkap basah. Kelihatannya
akan dibakar massa,” ujarku tenang.
Ku lihat kaki pemuda di hadapanku bergerak tak karuan, seolah juga ingin
menghukum penjambret yang memang sudah sangat meresahkan.
“Pergilah anak muda. Buat dirimu berguna. Sepertinya mereka tidak punya
korek untuk membakar penjambret,” ku tepuk pundaknya. Ia segera beranjak.
Aku berjalan menjauh. Asap hitam berbau busuk mulai mengepul. Teriakan pilu
terdengar meraung-raung minta tolong. Aku tersenyum tipis. Tanganku bersih.
Skenarioku berjalan sesuai rencana. Satu penjahat kelamin sudah musnah dari
muka bumi. Saatnya menghukum pedofil lainnya.
***
Kairo, 13 Mai 2014
0 komentar:
Posting Komentar