Tersebutlah Sukirman, anak desa yang baru
pulang kampung setelah menyelesaikan program sarjananya. Ia pulang bukan dengan
tanpa hasil, namun juga membawa mesin bajak hasil rakitannya sendiri.
Sistem pertanian desanya yang masih
tradisional membuat pendapatan masyarakat desanya tidak mengalami peningkatan.
Hal inilah yang dulu mendorong Sukirman mengambil jurusan teknik mesin, untuk menciptakan mesin yang dapat membantu profesi masyarakat kampungnya yang mayoritas adalah petani.
Hal inilah yang dulu mendorong Sukirman mengambil jurusan teknik mesin, untuk menciptakan mesin yang dapat membantu profesi masyarakat kampungnya yang mayoritas adalah petani.
Selama Sukirman masih berada di desanya,
mesin bajak itu sangat dimaksimalkan penggunaannya. Kerjanya yang cepat membuat
proses pertanian kampung Sukirman maju pesat. Para petani mengalami peningkatan
penghasilan.
Dalam mengoperasikan mesin bajak, bukan
hanya Sukirman, namun juga
beberapa petani ia ajari. Sukirman sadar, ia tak akan bisa menjalankan mesin itu sendiri.
beberapa petani ia ajari. Sukirman sadar, ia tak akan bisa menjalankan mesin itu sendiri.
Namun segalanya berubah saat Sukirman pergi
ke Jepang untuk melanjutkan program masternya. Mental penduduk desa yang ingin mudah
sesaat membuat mereka lupa potensi mesin bajak yang bisa membuat pekerjaan mereka
lebih mudah berkali lipat.
Bahkan parahnya beberapa pemuda labil mulai
membongkar mesin bajak tersebut dan membawanya ke pandai besi dengan tujuan
merubahnya menjadi cangkul, sabit, parang, dan alat-alat pertanian lainnya dengan
alasan lebih mudah digunakan. Mesin bajak itu?
Tidak merakyat, rumit. Bah!
“Kalau Sukirman memang berniat untuk
mempermudah pekerjaan kita, maka inilah yang harus kita lakukan!” Padahal
mereka hanya tidak mau meluangkan waktu sedikit untuk belajar mengoperasikan
mesin tersebut.
“Ini akan lebih bermanfaat jika kita ubah
menjadi sesuatu yang kita butuhkan!”
Beberapa petani lain sudah mencoba untuk
mencegah, tetapi mereka malah mendapat cemoohan dan ancaman. “Kalau mau tetap
menjalankan mesin ini seperti Sukirman dulu terserah! Tapi jangan disini!
Disini tidak cocok! Jalankan saja mesin
ini di negara tempatnya diciptakan, di Jepang sana. Kita di Indonesia Bung!”hardik mereka.
Di antara mereka ada juga yang hanya berdiam diri, tidak melakukan
apa-apa. “Enjoy the show”. Mengaku bersikap netral padahal di hadapan
mereka terjadi tindakan bodoh yang pasti juga akan berdampak pada mereka.
Akhirnya kembalilah desa Sukirman menjadi
desa dengan pertanian yang sulit, bahkan mengalami penurunan tiap tahunnya.
Mesin bajak yang awalnya dibawa oleh Sukirman dengan tujuan memakmurkan petani
malah diubah, juga dengan alasan
“memakmurkan” petani.
Mesin tersebut menjadi tak berguna
sebagaimana mestinya, karena anggapan manusia yang tak berpikir sehat. Padahal
mesin bajak itu dapat memakmurkan petani bukan dengan merubahnya menjadi
alat-alat manual, tapi dengan memaksimalkan penggunaannya sebagai MESIN BAJAK.
***
Saudaraku, coba kita merenung dengan mengorelasikan kisah Sukirman dengan kondisi Islam saat ini.
Islam dahulu dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW saat manusia berada dalam keadaan bodoh, hina. Terjebak dalam kesesatan.
Dan begitulah, harkat dan martabat manusia, terlebih lagi wanita, diangkat dan
dijaga oleh Islam, hingga manusia kembali menjadi “manusia”.
Namun saat Rasulullah SAW wafat, banyak
golongan yang mencoba untuk meng”obok-obok” syariat, bahkan sampai saat ini.
Lalu tidak adakah yang peduli? Ada, namun
mereka mendapat sangsi sosial. Pelecehan dari media, bahkan peringatan keras dari
pemerintah.
Ada juga sebagian elemen yang (mereka
berpikir) mencoba untuk bersikap netral. Namun bukankah sikap netral itu adalah
kata lain dari “memberi jalan”, “silakan”. Mereka lupa bahwa harga diri mereka
juga dipertaruhkan dalam hal ini. Bukankah netral
secara tak langsung berarti mendiamkan kejahatan, dan tidak membela
kebenaran?
Lalu jika kaum Muslimin saat ini kembali ke era kebobrokan, seperti
penduduk kampung Sukirman kembali pada kemiskinan, siapa yang harus bertanggungjawab??
“Nahnu qaumun a’azzanallahu bil Islam,
fain ibtaghaina ghairahu, adzallanallah!”kata Umar Radhiallahu
‘Anhu. “Kita adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan hadirnya Islam, dan
jika kita cari kemuliaan selain dari Islam ini, maka pasti, Allah akan hinakan
kita!”
Mereka, yang mencoba untuk memanipulasi
ayat-ayat Allah, seakan lupa bahwa Islam bukan sekedar keyakinan, namun juga
amalan, perkataan. Bukan hanya di hati, namun juga harus teraplikasi.
Mereka berlindung di balik kaidah “Islam,
rahmat bagi semesta alam”, untuk melegalisasi kriminal pemikiran yang mereka
lancarkan, untuk memuaskan perut mereka yang tak memiliki setelan. Padahal
Islam akan menjadi rahmat bagi alam semesta, jika kita mau mengamalkan, bukan
hanya di Mesjid, namun juga di gedung MPR, Istana Negara, mall, pasar , bahkan
di kamar kecil. (anak TK saja tahu doa masuk WC)
Mari sama-sama kita introspeksi diri,
karena aku pribadi pun tidak lepas dari salah dan dosa, dan belum tentu lebih
baik darimu, saudaraku. Selain berusaha, tetaplah berdoa, karena Allah-lah Sang
Maha Mengetahui. Hanya Dia yang mempu membuat kita istiqamah dalam
kemuliaan ini, kemuliaan di bawah naungan Islam.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk
jadi lebih baik.. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar