siapa tahu saat Anda bersedekah, Anda bisa dapat motor |
Ku jalani hari-hariku berorganisasi, mengisi
kekosongan kegiatan di liburan musim panas. Gairah organisasiku memang tetap
membara,
namun mesiu kecemasan telah terlanjur tersebar di dalam kalbu. Tinggal menunggu percikan api kecil untuk membuatnya meledak menjadi sebuah guncangan batin, percikan api saat aku melihat nilaiku keluar. Ah, menanti memang benar-benar membuatku kehilangan keseimbangan.
namun mesiu kecemasan telah terlanjur tersebar di dalam kalbu. Tinggal menunggu percikan api kecil untuk membuatnya meledak menjadi sebuah guncangan batin, percikan api saat aku melihat nilaiku keluar. Ah, menanti memang benar-benar membuatku kehilangan keseimbangan.
Salah seorang senior mengatakan bahwa ia gagal
dalam mata kuliah Persoalan Fikih Kontemporer (Qadhâya Fiqhiyyah Mu`âsharah)
karena tidak dapat menjawab satu pertanyaan, mengenai undang-undang Mesir. Aku
yang memang tak pernah suka menghafal kata per kata dulu kadang membuat
alasan-alasan pembenaran dari kemalasanku untuk menghafal bagian undang-undang
negara Mesir.
“Yang penting paham. Apa gunanya hafal tapi hanya
sekedar di lidah?”
“Alaaah, undang-undang Mesir juga tidak akan
dipakai di Indonesia kan?”
“Huh, orang Mesir saja tidak peduli dengan hukum
negaranya, kenapa aku harus peduli?”
Dan kini aku berada dalam titik nadir kegalauan,
yang membuatku harus memperbaharui tawakkalku. Ya Allah, aku rela jika
Qadhaya-ku gagal tahun ini, tapi aku mohon, jangan Engkau putus beasiswaku.
***
Kurikulum pendidikan Universitas Al-Azhar Mesir
membagi satu tahun pelajaran menjadi dua termin, satu dari bulan September
sampai Januari, yang ke dua dari Februari sampai Juni. Selebihnya? Liburan.
Di termen satu aku nyaris tak pernah mengikuti
kelas. Memang, absensi tidak mempengaruhi nilai akademis. Namun satu hal yang
pasti, absensi mempengaruhi pemehaman dan pengenalan mahasiswa terhadap dosen.
Dan saat itu aku seolah telah menjadi mahasiswaa tak tahu diuntung yang malas
hadir kuliah hanya karena ruang kuliah yang kecil.
Namun sebenarnya bukan hanya karena itu. Rasa
malas menyerangku untuk hadir kuliah juga disebabkan oleh statusku sebagai
panitia orientasi mahasiswa baru (Ormaba). Pengunduran waktu serta rapat yang
hampir diadakan setiap minggu membuatku hilang akal, terjangkit stres ringan
namun dahsyat dalam serangan. Semangat akademisku nyaris padam. Inilah budaya
Indonesia, sedikit-sedikit rapat, sedikit-sedikit rapat. Padahal kesuksesan itu
hadir bukan karena banyaknya rapat, tapi sebuah aksi terkoordinir dari seorang
pemimpin berbakat, meski terkadang terdengar nekat.
Akhirnya Ormaba diadakan pada bulan Desember,
beberapa hari sebelum ujian termin satu diadakan. Waw, fantastis. Kedatangan
mahasiswa baru dari Indonesia yang terlambat karena tersangkut visalah yang
membuat penguduran waktu ini berlangsung. Hai Kedutaan Besar Republik Arab
Mesir di Indonesia! Tak bisakah kau sedikit mempercepat proses pembuatan visa
agar para mahasiswa bisa menikmati bangku kuliah secepatnya?
***
Di termin dua kesadaranku untuk kuliah mulai
tumbuh, meski aku sadari aku tak mengikuti jam kuliah secara penuh.
Biasanya dalam satu hari, ada tiga mata kuliah
yang dipelajari. Yang pertama dari jam 09.00 sampai jam 11.00 pagi, yang ke dua
dari jam 11.00 sampai jam 01.00 siang, dan yang ke tiga dari jam 01.00 sampai
jam 03.00 sore. Dan biasanya aku langsung pulang setelah jam ke dua habis,
pulang setelah aku melaksanakan salat Zuhur.
Tapi kali ini bukan karena malas, kawan. Tapi
karena saat telat masuk ke ruang kuliah satu mikro detik, maka kau harus
bersiap-siap mendengar dosen sambil berdiri, atau kau harus rela duduk di
lantai, bersama suasana penuh sesak yang membuat mahasiswa Indonesia yang
umumnya berbadan mungil tak berkutik. Kau tahu lah kawan, umumnya mahasiswa
Mesir berbadan subur.
Setelah berulang kali mengalami kejadian seperti
itu, ya aku hanya bisa pasrah untuk pulang setelah jam ke dua kelar, dari pada
hanya menambah sesak ruang kuliah karena aku tak akan bisa berkonsentrasi
mendengar penjelasan dosen. Sekali lagi ini bukan karena aku malas, kawan,
bukan. Eh, tapi walau aku berkilah, kau pasti tetap akan menganggap ini sebah
kemalasan bukan? Ya sudah, aku mengaku, aku memang masih terjangkit malas.
Aktifitas keorganisasianku di termin dua ini
lumayan teratur. Aku hanya sibuk dalam satu kajian ilmu falak bersama AFDA
(Association of Falak Deep Analyst) Kairo serta kegiatan rutinku sebagai
reporter Informatika, sebuah buletin mahasiswa Indonesia Kairo yang dinaungi
ICMI. Dan dua kegiatan ini biasanya vakum untuk sementara satu bulan sebelum
ujian diadakan. Di tingkat tiga nanti aku berencana untuk lebih fokus mengikuti
program tahfiz dan talaqqi saat aku sudah pensiun menjadi wartawan.
Khusus untuk Informatika, penutupan kegiatan
ditandai dengan pemilihan pimpinan baru agar setelah ujian berakhir, lembaran
baru Informatika bisa langsung digelar. Dan kau tahu kawan, sepertinya
rencanaku di tingkat tiga mengalami sedikit perubahan karena aku diamanahi
untuk menjadi pemimpin umum Informatika. Ah, semesta pasti sedang bercanda
denganku.
***
Jarum jam menunjukkan angka 11, pagi menjelang
siang. Mataku masih terasa berat, masih berhutang pada rasa kantuk akibat malam
musim panas yang berlalu begitu cepat. Selain itu, akhir-akhir ini entah kenapa
badanku terasa berat untuk digerakkan. Malas? Bukan, ku pikir ini salah satu
gejala anemia atau semacamnya.
“Bib, mau lihat nilai? Katanya sudah
ditempel,”Rahman berjalan melaluiku yang masih terbaring di atas sofa.
Aku masih lemas. Kalaupun aku bangun sekarang,
tentu aku tidak bisa berangkat bersama Rahman dan Ryan yang sudah rapi.
“Lanjut, Man. Aku masih lemas. Nanti aku akan ke
kampus setelah zuhur,”ujarku masih berbaring tak bergerak.
Khalil keluar dari kamar, seolah tak mendengar
percakapan kami tadi.
“Bib, sudah tahu nilai?”ujarnya sembari berdiri di
ujung kakiku.
“Kamu dapat Jayyid Jiddan bib,”lanjutnya mengulum
senyum.
Aku langsung terloncat, tak peduli kalau jantungku
belum siap memompa darah ke kepalaku yang sedari tadi terbaring, sejajar dengan
tulang punggung.
“Serius Il?”aku berusaha memendam gemuruh bahagia
dalam dada dengan menggunakan intonasi datar. Tapi bahasa tubuhku tak bisa
dusta. Hei, bukankah tadi aku sudah terloncat dari tidur?
Kami memang biasa memanggil Khalil dengan
panggilan “Il”, i dan l. Khusus buatku, aku memang lebih memilih untuk
memanggil kawan dengan panggilannya di keluarga. Ya, agar lebih akrab, lepas,
dan bukankah seseorang harus dipanggil dengan panggilan yang disukainya? Tapi
entahlah bagi mereka yang tak suka dengan panggilannya di keluarga.
Segera aku bersiap, meloncat ke kamar mandi,
membasahi mata. Ya, tak perlu mandi karena aku harus bergegas. Tak perlu mandi
karena tak akan ada mahasiswi yang peduli. Oooops, apa hubungannya?
***
Dalam teorinya, berwasilah menggunakan amalan
saleh itu dianjurkan. Malah dengan cara ini, doa tak jarang dikabulkan. Itulah
ang ku dapat dari apa yang disampaikan Ustad Yusuf Mansur dalam vidio-vidio
beliau yang ada di youtube.
Kebanyakan orang biasanya akan bernazar untuk
bersedekah setelah hajat terkabul. Aku akan bersedekah jika aku lulus UN. Aku
akan bersedekah jika lolos tes CPNS. Aku akan bersedekah saat proposal proyek
tembus. Lalu bagaimana jika syarat yang dijanjikan tadi tak tercapai? Akankah
sedekah tetap dikeluarkan?
Aku mengambil keputusan untuk keluar dari
kebiasaan-kebiasaan di atas. Aku mencoba untuk bersedekah di awal, setiap pagi
sebelum memasuki ruang kuliah. Ya, walaupun kecil, namun aku selalu minta
doakan pada orang yang ku beri sedekah untuk mendoakanku agar lancar menjawab
soal, disamping usahaku yang boleh ku bilang tidak begitu maksimal.
Ya, bersedekah di awal. Kau boleh sebut aku
sebagai anti-mainstream jika tak mau menyebutku extream. Ku
jadikan sedekah sebagai sarana mengumpul doa, sarana penentram jiwa, hingga
meski pun saat ujian kepalaku panas bagai jalan aspal di siang terik, tetap
saja aku bisa tersenyum bebas stres.
Hari ini aku melangkah bersama kawan-kawanku untuk
memperbaharui beasiswa, dengan memberikan laporan hasil ujianku tahun ini. Pak
Wail, lelaki muda yang menjadi penanggung jawab registrasi melihat surat
keterangan nilaiku.
“Hei, nilaimu bagus tahun ini,”ujarnya. Aku
terdiam.
“Pernah mendapat penghargaan sebelumnya?”
“Eh?”aku masih belum nyambung karena selama ini
yang mendapat penghargaan adalah jawara mumtaz, boleh diartikan cumloude.
“Pernah dapat laptop dan sejenisnya sebelumnya
saat perayaan Bait Zakat?”Bait Zakat Kuwait adalah lembaga pemberi beasiswa
kami.
“Oh, belum. Belum,”jawabku gagap.
“Bisa jadi tahun ini kau dapat satu,”ujarnya
sambil menyalin nama serta nilaiku ke dalam catatan khusus orang-orang bernilai
jayyid jiddan ke atas. Apa tadi katanya? Tahun ini aku punya harapan
mendapat penghargaan? Wow!
Aku tak mau terlalu banyak berharap, karena bisa
jadi penghargaan tadi batal, dan hanya diserahkan pada peraih mumtaz seperti
tahun-tahun sebelumnya. Intinya adalah aku merasakan bahwa sedekah di awal
memang benar-benar membawa berkah. Apa yang disampaikan oleh Ustad Yusuf Mansur
bukan hanya isapan jempol belaka. Dan satu lagi, bukan bermaksud riya, namun
boleh dikatakan tahadduts bi’ ni`mah. Kau pun harus mencobanya kawan.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih
baik.. ^_^
***
Kairo, 13 September 2013
mencoba bersedekah di awal.. metode bagus,,
BalasHapussemoga saja hajat akang terkabul.. :)