Duagh!
Dani memukul
keras dagu lelaki bule itu.
“Aku tanya sekali lagi, apa sebenarnya tujuan kau
datang ke mari?!”
Dani menjambak rambut panjang bule Perancis itu. Baru
saja ia muntah darah. Pinggir bibirnya pecah. Aku terpaku, diam. Bule bejat itu
memang pantas menerimanya.
Dani sejenak melihat ke arahku, “Rudi,
beri minum dia. Paling tidak kita harus membiarkannya hidup sampai kita mendapat informasi,”
beri minum dia. Paling tidak kita harus membiarkannya hidup sampai kita mendapat informasi,”
Aku menatap pria bule itu ngeri. Beberapa giginya
patah, mata kirinya lembam. Baru kali ini aku benar-benar melihat seseorang
babak belur.
***
Gempa dahsyat yang menimpa tanah kami telah
mengundang relawan dari berbagai belahan dunia. Aku sangat menghargai mereka
yang telah rela berkorban demi membantu kami, hingga sore itu aku dan Dani mendapati
seorang relawan mengajarkan doktrin trinitas pada bocah-bocah kecil di desaku.
Dani di sampingku meradang. Ia masuk ke kerumunan
anak-anak, membubarkan mereka dengan alasan mereka harus segera kembali pada
orang tua mereka. Aku tahu dadanya panas, sama sepertiku.
Kami memang bukan orang kota, tapi kami bukan
orang bodoh. Kami tahu bahwa lelaki pirang ini sedang mencoba menyebarkan
agamanya disini, sama seperti yang dulu dilakukan Belanda.
Aku memperhatikan sekeliling, sepi. Aku mengangguk
pada Dani. Secepat kilat ia mengeluarkan tendangan putarnya, telak mengenai
leher si pria bule, membuatnya langsung tak sadarkan diri. Kami segera
memasukkannya ke dalam tas tenda, menjauh, masuk ke dalam hutan. Kami
menggotong setan berambut pirang.
***
Aku bukanlah seorang lelaki yang menyukai
kekerasan. Bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali aku berkelahi. Semua orang
di Pariaman ini pun tahu kalau aku penyabar dan tak suka cari masalah. Tapi aku
punya prinsip, orang-orang kami punya prinsip. Musuah pantang dicari, kok
tibo pantang dielakan. Tak boleh cari musuh, namun kalau ada yang cari
gara-gara, jangan coba lari. Dan bule tak tahu malu ini telah mencari gara-gara
denganku, bukan, tapi dengan seluruh urang Minang.
Aku tak akan marah jika ia mengatakan bahwa aku
lebih pendek darinya, atau kulitku tak seterang kulitnya. Namun saat ini ia
telah mencoba merusak akidah adik-adik kami di sini, di tanah yang mempunyai
Islam sebagai kontrol adat. Ia telah mencoba merusak generasi yang akan
membangun negeri ini dua puluh tahun mendatang.
Pintar, pintar sekali cara mereka masuk dan
menjadi duri dalam daging. Mereka tahu pengawasan orang tua saat ini lemah,
sehingga dengan leluasa mereka bisa mencuci otak para bocah. Mereka tahu kami
butuh makanan, pakaian, obat-obatan, semua mereka berikan. Namun mereka juga
memberi doktrin-doktrin jahat karena mereka tahu tak ada yang akan mencurigai
relawan. Relawan adalah orang baik.
Ku pandang sekali lagi pria pirang itu. Aku sudah
mendapatkan rekaman pengakuannya bahwa ia di sini memang ingin menyebarkan
agamanya, Protestan. Misionaris! Aku sudah punya cukup bukti bahwa bule bejat
ini memang pantas mati. Hei, bukankah ia sudah melawan tiga badan dalam satu
langkah? Ia telah berani melawan negara Pancasila yang menjamin hak setiap
pemeluk agama. Ia telah melawan adat kami yang menjadikan Al-Quran sebagai
identitas. Dan si bule tak beradat ini juga sudah melawan agamaku, meski aku yakin
ia tak peduli.
“Dan, apa mungkin kita serahkan Sebastian
ini ke kantor polisi? Kita sudah punya cukup bukti untuk memasukkannya ke
dalam kandang situmbin[1],”ujarku
pada Dani.
Dani menatapku dalam, lama sekali. Aku tak tahu
bagaimana jalan pikirnya. Ia minum dua teguk, kemudian kembali menatapku.
“Maksudmu ia akan diurus oleh pidana buta?”
“Maksudmu?”
“Rudi, coba kau sedikit berpikir kritis! Kau tak
pernah tahu sejauh mana orang-orang kulit putih ini berkuasa pada wakil rakyat kita
itu. Bisa saja dia bebas dalam dua hari karena dia punya kawan di DPR sana.
Bisa saja ia bebas karena bukti dianggap tak kuat oleh pengadilan. Bisa saja
negara memaafkannya karena pada dasarnya ia telah membantu orang-orang kita,
ya, sebagai relawan bencana,”
Aku terdiam sejenak, mencerna tiap kata yang
meluncur dari mulut bijak Dani.
“Bahkan bisa-bisa kita yang akan dipidana karena
menganiaya seorang relawan. Bah! Kau tahu lah bagaimana kebal hukumnya orang-orang
ini!”
“Lagi pula, kantor polisi saat ini sudah rata
dengan tanah. Yang ada hanya puing-puingnya,”
Ya, bahkan sekolahku dulu kini tertimbun tanah tak
berbekas. Mengubur semua kenangan masa kecil.
“Kau tahu Rud, saat agen misionaris tak tahu adat ini memulai aksi kristenisasinya,
sebenarnya saat itu haknya untuk hidup sudah hilang. Ia sudah melanggar hak
orang lain, sehingga kini ia tak lagi punya hak. Kini ia pantas mati,”
Aku terkesiap mendengar kata “mati” dari mulut
Dani.
“Lalu menurutmu harus kita apakan orang ini?”
“Bunuh, rusak mukanya, rusak giginya, gantung di
tengah kampung. Biar semua orang lihat bagaimana akibatnya jika mencoba-coba
mengotak-atik agama kita. Biar semua orang tahu bahwa tak baik mencari
gara-gara dengan orang kita,”
Aku ngeri mendengar rencana gila Dani. Tidak, ini
tidak sepenuhnya gila. Kami sudah semalaman menyandera bule bejat ini, dan ini
sudah terlanjur gila. Kenapa tidak sekalian melakukan aksi gila lainnya?
Terlanjur basah, kenapa tidak berenang sekalian?
“Aku yakin kita mendapat restu semesta,”ia
menatapku mantap, meski ku dengar ada sedikit getaran gugup dari suaranya.
***
Tenda relawan pagi ini kasak-kusuk, mereka semua
menyadari ada yang tidak beres. Seorang kawan mereka, Sebastian Collin hilang
sejak kemarin sore. Aku yang saat itu sedang menghangatkan badan dengan
menyeruput kopi pura-pura tidak peduli. Sebastian Collin, dialah bule kalera
yang kami sandera sejak kemarin.
Dua orang bule mendekatiku.
“Hai, nama saya Gefforey. Anak-anak katakan kamu
orang terakhir yang berjumpa dengan seorang teman kami, Sebastian,”
Ia menatapku memburu. Aku tahu ia mencurigai aku.
Ku seruput ujung gelas, membiarkan hangat kopi menyentuh lambungku. Pasti pria
ini sudah lama menetap di Indonesia.
“Maaf, Tuan. Saya memang orang terakhir yang
berbicara dengan teman Tuan. Tapi setelah itu saya tidak tahu. Ah, Tuan tahu
bukan, kalau kampung kami ini ada di kaki bukit, pinggiran hutan?”
“Maksud kamu?”
“Ini Sumatera Tuan. Kami punya banyak hewan liar
di hutan. Harimau, beruang madu, buaya. Apa Tuan sudah pastikan kalau
teman Tuan tidak dimangsa oleh salah satu hewan-hewan tersebut?”
Ia menarik kerah bajuku, namun dengan sigap aku
mencengkram pergelangan tangannya, memelintirnya ke belakang, menendang
belakang lututnya. Gefforey berteriak, berlutut. Nafasnya tersengal. Aku
mencengkram lehernya. Sesaat ibu-ibu di tenda terpekik ikut terkejut, namun
langsung hening.
“Look buddy. Don’t do anything stupid, okay? I
just don’t like what you said. Careful what you wish!”
“Ya, Tuan. Maaf,”aku melepaskan cengkramanku.
Gefforey merapikan kerah bajunya, membersihkan
lututnya. Nafasnya masih tersengal satu-dua, mungkin shock karena pria
kecil sepertiku bisa membuatnya yang nyaris dua meter berlutut. Ia segera
berlalu. Aku kembali duduk, menikmati kopi pertama setelah gempa terjadi.
“Tuan, satu hal yang perlu Tuan tahu tentang orang
kami. Kami pada dasarnya orang yang ramah. Namun kami tak akan tinggal diam
jika ada yang mengusik kedamaian kami,”
Satu hal yang membuatku percaya diri dan tidak
gugup menghadapi dua pria bule tadi, adalah hukum negara ini. Kau bisa bebas
melakukan pelanggaran pidana dengan satu dari tiga syarat. Pertama kau tidak
ketahuan. Ke dua tak ada bukti di pengadilan. Ke tiga kau bisa membayar
pengadilan dan pengacara dengan banyak uang. Bah! syarat ke tiga membuat
perutku mual!
***
Aku dan Dani nyaris muntah
melihat bangkai Sebastian yang kini hanya utuh di bagian kaki. Selebihnya hanya
tulang, bahkan kepalanya menghilang. Darah bercecer dimana-mana. Ada bekas
cakar di celana jeansnya. Ah, tidak, ia mati terlalu cepat, dan, matinya pun
menggenaskan, dimangsa raja hutan!
Dani melihat sekeliling,
mencoba waspada jika kawanan harimau masih ada. Ia segera menyembunyikan tali
pengikat yang kini telah koyak. Setidaknya ada dua harimau yang berpesta
disini. “Kita kembali dan katakan kalau kita menemukan mayatnya!”
Jujur, Aku dan Dani berniat menghabisinya sore
ini. Aku berniat mengantungnya di tengah desa malam ini. Namun alam berkehendak
lain. Bahkan semesta pun berniat menghabisi Bule ini.
Aku dan Dani segera berlari ke tenda relawan.
Dalam pikiranku berkelebat bayangan kejadian tadi malam, saat aku memberi tahu
Sebastian bahwa besok adalah hari terakhirnya menghirup udara di dunia.
“Kau punya permintaan terakhir?”Dani bertanya, basa-basi untuk calon penumpang ke alam barzakh.
Bule itu diam sejenak. Giginya gemetar, sudah dua
hari dia hanya kami beri air. Aku yakin dia sangat lapar, tapi aku tak peduli.
Bah! siapa sudi memberi makan agen pemurtad umat?!
“Aku lapar..”ucapnya lirih.
“Aku ingin babi panggang, pork, aku ingin berbekyu ham,”
Telingaku panas mendengarnya. Babi katanya? Ham? Ku
dekatkan wajahku ke telinganya yang bau terasi basi.
“Aku beri tahu kamu satu hal.
Di tanah ini, di Ranah Minang ini, sejak Gunung Merapi sebesar telur itik,
sampai kiamat nanti, hanya anjing yang makan daging babi. Kau dengar, tidak ada
satu pun manusia yang makan daging babi. Bahkan harimau pun enggan menyentuh
najis berat itu! Lalu kau minta daging babi? Maaf, tak ada dalam daftar menu
kami!”
Ku pukul ia untuk terakhir kalinya malam itu.
Malam sebelum semesta membuatnya binasa. Ya, malam sebelum harimau memangsanya,
membersihkan luka memar serta tanda-tanda penganiayaan di sekujur wajah dan
tubuhnya. Membebaskanku dan Dani dari segala tuduhan yang mungkin akan
diarahkan pada kami. Kawan, inilah mungkin yang Dani maksud sebagai restu
semesta.
***
Kairo, 9 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar