Saya tegaskan, bahwa belajar fikih tanpa akhlak efeknya sama dengan
belajar silat tanpa pekerti. Ilmu yang kita miliki malah dijadikan sebagai alat
untuk menyerang orang lain, bukan malah untuk melindungi dan memperbaiki
kualitas diri.
Bagaimana bisa?
Ya iya. Imam Muhammad al-Barkawi jelaskan, bahwa pintu
masuk setan nomor satu adalah ilmu yang kita punya. Saat ilmu yang dimiliki
tidak dibarengi dengan akhlak memadai, ditambah dengan dorongan setan yang
pasti menjadi, efeknya ilmu tadi akan kita gunakan untuk menilai kualitas orang
lain. “Oh, si anu kok masih tidak berjanggut.” “Ah, si anu kok pas mau sujud
malah lututnya yang dahulu menyentuh sajadah.” “Bodoh. Sudah azan tapi masih
berleha-leha bekerja. Mereka ini calon penghuni neraka.”
Jika ilmu seharusnya bisa membuat orang berderajat rendah menjadi
tinggi, tanpa akhlak ilmu tersebut malah akan menjadi pemberat yang akan
menghalangi seseorang untuk menggapai kemuliaan hakiki. Sama seperti orang yang
pintar silat tadi. Tanpa pekerti, ia boleh jadi gunakan ilmunya untuk menindas
orang lain. Nah, ini yang ingin saya imbangi.
Kajian akhlak yang hanya akan saya sampaikan sekitar seminggu saya
fokuskan untuk membahas penyakit-penyakit akhlak yang batin. Imam al-Barkawi
mengisitilahkannya dengan âfâtu’l qulûb (penyakit hati). Saya mulai
dengan penyakit hati paling berbahaya, sombong.
Tak dapat dihitung banyaknya dalil yang menjelaskan betapa tecelanya
penyakit sombong. Bahkan tak perlu
merujuk kepada dalil, siapapun akan paham bahwa sombong bukanlah sifat
terpuji. Yang jadi masalah adalah saat orang yang sombong tidak menyadari kalau
ia sombong. Nah, ini yang perlu saya jelaskan berikut contoh-contoh dari
kajadian sehari-hari.
“Bapak ibu, hati-hati! Permainan setan sangat halus, sering kita tidak
sadar kalau kita sudah termakan rayuan setan dalam penyakit sombong ini.
Contoh, sehabis salam saat salat jamaah, kita masih celingak-celinguk lihat
kiri-kanan, melihat siapa saja jamaah yang masbuk. Nah, saat melihat si anu
masbuk, si fulan tidak ikut salat ke masjid, kita mulai merasa kalau kita lebih
saleh dari pada mereka yang masbuk ataupun tak hadir di masjid. Disini setan telah sukses dengan misinya,”
Ini karena memang amal saleh adalah penyebab sombong paling banyak,
setelah ilmu. Orang yang merasa ibadahnya sempurna, baik, jika memandang orang
lain dengan tatapan sombong, maka yang muncul adalah amarah. Amarah untuk
menumpas orang lain tadi. Paham kan? Yang ditumpas bukan amal buruknya,
melainkan pelakunyalah yang ingin mereka tumpas. “Ini agaknya mengapa ISIS tak
ragu untuk mengebom siapa saja yang berbeda dengan mereka. Karena mereka merasa
satu-satunya golongan yang benar dan pantas hidup. Nyawa orang lain tak
berharga. Ini bentuk sombong paling tampak saat ini,” jamaah mengangguk takzim.
Saya pun melanjutkan penjelasan mengenai sebab-sebab sombong yang lain.
Ada harta, nasab, bentuk rupa, usia, status sosial. Apapun yang membuat
seseorang merasa lebih dari orang lain, maka harus diwanti-wanti.
Kesempatan ini juga saya gunakan untuk menyindir jamaah yang sempat
hilang dan tak pernah kembali untuk mengikuti pengajian. “Juga salah satu
bentuk sombong, adalah meninggalkan majlis ilmu karena sudah merasa tahu dan
tak perlu diajari lagi mengenai agama. Apalagi diajari oleh anak kemarin sore
seperti si Habib,” beberapa jamaah tertawa.
“Tentu Bapak dan Ibu melihat,
setelah sekian bulan kita mengaji, banyak ilmu baru yang Bapak-Ibu dapat. Hukum
memandikan mayat dengan air bunga, tata cara salat gerhana, cara sujud sukur
dan sujud sahwi, ilmu-ilmu seperti ini tidak akan didapatkan jika sedari awal
hati kita sudah menganggap enteng kajian ibadah.
Tetapi, saya pikir di masjid at-Taqwa ini tidak ada jamaah yang meninggalkan
majlis karena merasa sombong. Pasti karena ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan,”
jamaah kembali tertawa.
Bukan akhlak namanya jika hanya menjabarkan penyakit sikap, tanpa
memberi obat. Imam al-Barkawi memberikan banyak obat untuk penyakit sombong
ini. Namun semua itu merujuk kepada satu hal, menyadari bahwa kita semua punya
aib serta kelemahan, serta melihat yang lemah dari sisi positif.
Saat melihat anjing kurap, kita mesti sadar bahwa anjing tersebut tak
pernah berdosa, amalnya tak akan dihisab. Kita jadi lebih tawadu. Melihat anak
kecil ingusan, kita juga tak pantas sombong, karena mereka masih kecil, hatinya
masih suci, berbeda dengan kita yang entah berapa kali berdosa. Melihat orang
yang berdosa, jika kita tidak mampu menegur, doakan agar ia mendapat hidayah.
Jangan malah menjadi besar kepala, dan merasa dijamin masuk surga, karena boleh jadi si pendosa akan bertaubat sebelum meregang nyawa,
sedangkan kita mati bergelimang dosa. Nauzubillah. Begitu seterusnya.
Berkali-kali saya jelaskan kerugian yang akan dialami oleh orang
sombong. Saya kisahkan tentang seorang santri di pondok saya dahulu yang berasal
dari keluarga miskin. Benar-benar tidak mampu. Saat pihak sekolah mengumumkan
adanya beasiswa, dan santri yang merasa miskin diminta untuk mendaftarkan diri,
si kawan ini enggan. Alasannya klise, merasa gengsi untuk mendaftar, malu untuk
mengakui kalau ia tidak mampu. Ini juga salah satu bentuk sombong, merasa mampu
padahal tidak. Ujung-ujungnya, ia tidak mendapat beasiswa. Ini efek buruk sombong yang nyata. Gara-gara sombong, ia tak jadi
mendapat kemudahan. Gara-gara sombong, tak jadi mendapat ilmu. Gara-gara
sombong, tak jadi mendapat menantu. Nah lho!
“Makanya, ilmu yang kita kaji saat ini pun, jangan menjadi alasan
Bapak-Ibu untuk sombong. Saat kita melihat orang tak berilmu dengan tatapan
sombong, yang muncul adalah keinginan untuk memusnahkan orangnya, bukan
amalnya, seperti yang tadi kita bahas. Orang macam ini juga akan pelit dengan
ilmunya, membiarkan orang yang tak tahu terbelenggu kebodohan. Berbeda dengan
orang berilmu yang melihat orang lain dengan tatapan berakhlak. Saat menemukan
orang yang tidak berilmu, ia akan didik, ajarkan.
Melihat orang keliru, akan ia luruskan,”
Selanjutnya saya juga menjelaskan beberapa penyakit hati yang sering
terjadi. Ada marah (bukan ekspresinya, tetapi benar-benar marahnya), iri, malas
dan lain sebagainya. Saya juga tambahkan penyakit akhlak zahir, seperti dusta,
gunjing, berkata yang buruk. Nah, dalam hal ini, saya tekankan bahwa akhlak
untuk berkata yang baik harus sesuai dengan tanah yang dipijak. Di Arab biasa
saja jika istri memanggil suami atau adik memanggil kakaknya dengan sekedar
nama, tanpa embel-embel penghormatan seperti ‘bang’, ‘kak’. Berbeda dengan kita
di Indonesia. Khususnya di Ranah Minang, aturan berkata baik ini kembali kepada
aturan kato nan ampek, jangan lupa untuk mengajarkan generasi mudah
tentang aturan bertutur ini.
Menghabiskan masa liburan dengan mengajar telah memberi saya pula banyak
pelajaran. Ternyata ilmu yang saya punya, walaupun boleh dikatakan cukup untuk
pribadi, tetapi masih sangat kurang jika akan dibagikan kepada masyarakat. Saya
juga belajar untuk memahami metode berbicara di depan umum dari berbagai
golongan, yang akan berbeda jika saya berbicara di hadapan mahasiswa. Mahasiswa akan tetap menikmati jika yang
disuguhkan adalah ‘makanan pokok’, sedangkan masyarakat umum membutuhkan banyak
penyedap rasa.
Pernah sekali saya memberi pengajian, tentang meneladani Nabi Muhammad Saw
sebagai pemimpin hebat, berdasarkan perjuangan yang beliau lalui sebelum masa
kenabian. Meskipun apa yang saya sampaikan begitu ilmiah, jamaah tak mampu
mengikuti, tidak termakan. Berbeda dengan pembicara setelah saya yang hanya
menyampaikan hal-hal ringan, simpel, yang sudah diketahui bersama, tetapi itu
yang menjadi daya tarik, karena jamaah mampu mengikuti pembicaraan beliau,
meskipun hampir 90%-nya hanyalah penyedap. Ini ilmu berharga yang saya dapat
saat itu. Beri juga ‘MSG’. Tetapi kalau terlalu banyak, ilmu yang disampaikan
nanti malah tidak bermanfaat karena masyarakat lupa. Hanya ingat lelucon, lupa
intinya.
InsyaAllah, saat saya kembali pulang nanti saya akan kembali mewakafkan
waktu saya untuk menyampaikan amanah ilmu yang saya punya. Tentu dengan metode yang lebih
matang, tetap dengan tujuan untuk menjadi lebih baik bersama. Mohon doa agar saya mampu mengambil semua yang bisa dan hanya bisa saya
ambil di sini sehingga nanti saat pulang saya siap untuk total mengabdi.
0 komentar:
Posting Komentar