Permasalahan keamanan masyarakat Indonesia di Mesir (Masisir) tak pernah ada habisnya. Setelah terjadi revolusi, bukan hanya mendapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan beraktifitas, namun juga Masisir dan pelajar asing umumnya mendapat kebebasan pula untuk disasar oleh pelaku kriminal Mesir yang ‘banting stir’, dampak merosotnya ekonomi negara.
Sudah banyak mahasiswa Indonesia yang menjadi korban. Bahkan kawasan Darrasah yang biasanya aman pun kini menjadi agak mencekam setelah salah seorang mahasiswa baru yang tinggal disana kehilangan laptop beberapa waktu lalu. Akan tetapi hal tersebut masih belum seberapa, dibanding dengan yang terjadi pada pelajar Rusia yang tewas ditusuk pelaku perampokan tahun 2012 lalu.
PPMI selaku wadah pusat mahasiswa dan pelajar Indonesia sebenarnya sudah berusaha keras untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan terhadap Masisir. Bekerjasama dengan DKKM, PPMI memberlakukan jam malam, juga memberikan bantuan khusus untuk mahasiswa ataupun pelajar yang memang terpaksa untuk keluar malam. Selain itu PPMI juga mengeluarkan himbauan untuk menjauhi daerah rawan kriminal, juga untuk tidak menggunakan jasa tuk-tuk (bajaj Mesir) yang sudah banyak ‘memproduksi’ kisah-kisah tidak mengenakkan.
Akan tetapi tindakan ini tidak sepenuhnya berhasil. Terbukti, Agustus 2012 flat salah seorang mahasiswi asal Indonesia di daerah Mutsallats menjadi sasaran. Pelaku perampokan yang lebih dari satu orang berhasil membongkar dan menjarah isi flat. Namun alhamdulillah, meski hampir, mahasiswi tersebut tidak mengalami cidera ataupun kejahatan fisik yang lebih buruk.
Disinilah permasalahan menjadi lebih rumit. Karena pelaku kejahatan di Mesir bukan hanya menarget pelajar asing di tempat terbuka, namun juga mulai berani memasuki flat-flat mereka. Hal ini menandakan pelaku kejahatan sudah mulai profesional dan memiliki menajemen dalam melakukan tindakannya, karena untuk dapat menerobos masuk ke dalam flat diperlukan ‘kajian lapangan’ terlebih dahulu.
Tidak menjadi masalah besar jika yang menjadi korban adalah flat para mahasiswa laki-laki, karena hal paling buruk yang akan terjadi hanyalah kehilangan telepon genggam, laptop, ataupun barang-barang berharga lainnya, juga luka fisik. Namun akan menjadi cerita yang berbeda jika yang menjadi korban adalah rumah mahasiswi, karena selain barang-barang berbentuk materi, kehormatan merekapun terancam jika pelaku perampokan nekat. Terlebih jika melihat kasus-kasus yang sudah-sudah, belum ada satupun pelaku kriminal yang tertangkap, ataupun diadili. Paling tidak jika pelakunya memang tertangkap, pengadilan harus mendatangkan mahasiswa-mahasiswa sebagai korban sekaligus saksi dalam persidangan. Dan disini pula peran badan hukum KBRI sangat dibutuhkan oleh Masisir.
Bicara mengenai keamanan para mahasiswi asal Indonesia, maka sebenarnya Islam memberi perhatian besar. Sebagai perantau (musafir) yang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, sebenarnya ada beberapa syarat. Hal ini bisa dikomparasikan dengan syarat-syarat pelaksanaan ibadah haji, selain Islam, baligh, berakal, dan mampu melakukan perjalanan, Mazhab Hanafiyah menambahkan syarat, yaitu adanya mahram bagi wanita. Sedangkan Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah hanya mensyaratkan mahram pada haji sunat (haji kedua dan seterusnya) dan umrah.
Syekh Muhammad Ali Ash-shabuni dalam kitab beliau, Rawabi’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam memberi komentar mengenai hal ini. Beliau menuliskan keprihatinan beliau, “Jika Islam tidak memperbolehkan wanita untuk melakukan perjalanan dalam melaksanakan haji tanpa mahram -padahal haji adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi laki-laki dan wanita- lalu kenapa masih banyak orang tua yang mengizinkan anak-anak perempuan mereka untuk melakukan perjalanan ke negeri yang jauh, ataupun ke negara lain dengan alasan pendidikan tanpa ditemani mahram atau kerabat yang bisa menjaga mereka? Sesungguhnya hal ini, tanpa ragu lagi, mengindikasikan bahwa umat Islam sudah mulai jauh dari adab Islami serta ajarannya yang cerdas. Bahkan hal ini juga menjadi bukti hilangnya sifat maskulin kaum laki-laki, hingga urusan perjalanan yang dilakukan wanita, dandanan yang mencolok serta interaksi sosial yang terlalu intens (ikhtilath) menjadi hal yang lumrah dan dianggap normal.”
Jika melihat realita yang terjadi di kalangan Masisir saat ini, perkataan Syekh Ash-Shabuni ini sangat cocok. Kedatangan mahasiswa asing, khususnya wanita ke Mesir yang saat ini dilanda krisis ekonomi terlihat bagai durian runtuh bagi pelaku kriminal. Terlebih para mahasiswi yang tidak memiliki suami atau mahram yang dapat menjaga mereka di Bumi Kinanah ini. Tentu skill para pelaku kriminal yang saat ini sudah semakin canggih tidak bisa dianggap main-main.
Tidak menutup kemungkinan juga untuk mahasiswi yang menuntut ilmu selain di Mesir juga akan mengalami hal sama, karena kasus kejahatan seksual tinggi tetap terjadi di negara-negara Amerika dam Eropa (tidak seperti Data dari Wahid Institut yang mengada-ada). Lalu apa solusi terbaik untuk hal semacam ini? Jawabannya hanya satu, kembali pada syariat. Seorang wanita yang melakukan perjalanan jauh lebih dari tiga hari, bahkan ada juga ulama yang membatasinya satu malam saja, maka hendaklah ia ditemani mahram ataupun suami. Hal ini lebih aman bagi wanita, dan lebih nyaman, karena berjalan sesuai dengan tuntunan syariat.
Kadang memang syarat-syarat yang diberikan syariat terasa berat, namun kadang manusia juga lupa, bahwa syarat-syarat yang diberi syariat pasti bertujuan maslahat, hingga kadang manusianya harus ‘ditempeleng’ musibah terlebih dahulu untuk menyadari bahwa syariat adalah jalan mencapai maslahat dunia dan akhirat.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
Sudah banyak mahasiswa Indonesia yang menjadi korban. Bahkan kawasan Darrasah yang biasanya aman pun kini menjadi agak mencekam setelah salah seorang mahasiswa baru yang tinggal disana kehilangan laptop beberapa waktu lalu. Akan tetapi hal tersebut masih belum seberapa, dibanding dengan yang terjadi pada pelajar Rusia yang tewas ditusuk pelaku perampokan tahun 2012 lalu.
PPMI selaku wadah pusat mahasiswa dan pelajar Indonesia sebenarnya sudah berusaha keras untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan terhadap Masisir. Bekerjasama dengan DKKM, PPMI memberlakukan jam malam, juga memberikan bantuan khusus untuk mahasiswa ataupun pelajar yang memang terpaksa untuk keluar malam. Selain itu PPMI juga mengeluarkan himbauan untuk menjauhi daerah rawan kriminal, juga untuk tidak menggunakan jasa tuk-tuk (bajaj Mesir) yang sudah banyak ‘memproduksi’ kisah-kisah tidak mengenakkan.
Akan tetapi tindakan ini tidak sepenuhnya berhasil. Terbukti, Agustus 2012 flat salah seorang mahasiswi asal Indonesia di daerah Mutsallats menjadi sasaran. Pelaku perampokan yang lebih dari satu orang berhasil membongkar dan menjarah isi flat. Namun alhamdulillah, meski hampir, mahasiswi tersebut tidak mengalami cidera ataupun kejahatan fisik yang lebih buruk.
Disinilah permasalahan menjadi lebih rumit. Karena pelaku kejahatan di Mesir bukan hanya menarget pelajar asing di tempat terbuka, namun juga mulai berani memasuki flat-flat mereka. Hal ini menandakan pelaku kejahatan sudah mulai profesional dan memiliki menajemen dalam melakukan tindakannya, karena untuk dapat menerobos masuk ke dalam flat diperlukan ‘kajian lapangan’ terlebih dahulu.
Tidak menjadi masalah besar jika yang menjadi korban adalah flat para mahasiswa laki-laki, karena hal paling buruk yang akan terjadi hanyalah kehilangan telepon genggam, laptop, ataupun barang-barang berharga lainnya, juga luka fisik. Namun akan menjadi cerita yang berbeda jika yang menjadi korban adalah rumah mahasiswi, karena selain barang-barang berbentuk materi, kehormatan merekapun terancam jika pelaku perampokan nekat. Terlebih jika melihat kasus-kasus yang sudah-sudah, belum ada satupun pelaku kriminal yang tertangkap, ataupun diadili. Paling tidak jika pelakunya memang tertangkap, pengadilan harus mendatangkan mahasiswa-mahasiswa sebagai korban sekaligus saksi dalam persidangan. Dan disini pula peran badan hukum KBRI sangat dibutuhkan oleh Masisir.
Bicara mengenai keamanan para mahasiswi asal Indonesia, maka sebenarnya Islam memberi perhatian besar. Sebagai perantau (musafir) yang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, sebenarnya ada beberapa syarat. Hal ini bisa dikomparasikan dengan syarat-syarat pelaksanaan ibadah haji, selain Islam, baligh, berakal, dan mampu melakukan perjalanan, Mazhab Hanafiyah menambahkan syarat, yaitu adanya mahram bagi wanita. Sedangkan Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah hanya mensyaratkan mahram pada haji sunat (haji kedua dan seterusnya) dan umrah.
Syekh Muhammad Ali Ash-shabuni dalam kitab beliau, Rawabi’ul Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam memberi komentar mengenai hal ini. Beliau menuliskan keprihatinan beliau, “Jika Islam tidak memperbolehkan wanita untuk melakukan perjalanan dalam melaksanakan haji tanpa mahram -padahal haji adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi laki-laki dan wanita- lalu kenapa masih banyak orang tua yang mengizinkan anak-anak perempuan mereka untuk melakukan perjalanan ke negeri yang jauh, ataupun ke negara lain dengan alasan pendidikan tanpa ditemani mahram atau kerabat yang bisa menjaga mereka? Sesungguhnya hal ini, tanpa ragu lagi, mengindikasikan bahwa umat Islam sudah mulai jauh dari adab Islami serta ajarannya yang cerdas. Bahkan hal ini juga menjadi bukti hilangnya sifat maskulin kaum laki-laki, hingga urusan perjalanan yang dilakukan wanita, dandanan yang mencolok serta interaksi sosial yang terlalu intens (ikhtilath) menjadi hal yang lumrah dan dianggap normal.”
Jika melihat realita yang terjadi di kalangan Masisir saat ini, perkataan Syekh Ash-Shabuni ini sangat cocok. Kedatangan mahasiswa asing, khususnya wanita ke Mesir yang saat ini dilanda krisis ekonomi terlihat bagai durian runtuh bagi pelaku kriminal. Terlebih para mahasiswi yang tidak memiliki suami atau mahram yang dapat menjaga mereka di Bumi Kinanah ini. Tentu skill para pelaku kriminal yang saat ini sudah semakin canggih tidak bisa dianggap main-main.
Tidak menutup kemungkinan juga untuk mahasiswi yang menuntut ilmu selain di Mesir juga akan mengalami hal sama, karena kasus kejahatan seksual tinggi tetap terjadi di negara-negara Amerika dam Eropa (tidak seperti Data dari Wahid Institut yang mengada-ada). Lalu apa solusi terbaik untuk hal semacam ini? Jawabannya hanya satu, kembali pada syariat. Seorang wanita yang melakukan perjalanan jauh lebih dari tiga hari, bahkan ada juga ulama yang membatasinya satu malam saja, maka hendaklah ia ditemani mahram ataupun suami. Hal ini lebih aman bagi wanita, dan lebih nyaman, karena berjalan sesuai dengan tuntunan syariat.
Kadang memang syarat-syarat yang diberikan syariat terasa berat, namun kadang manusia juga lupa, bahwa syarat-syarat yang diberi syariat pasti bertujuan maslahat, hingga kadang manusianya harus ‘ditempeleng’ musibah terlebih dahulu untuk menyadari bahwa syariat adalah jalan mencapai maslahat dunia dan akhirat.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
Bib, tambah la gadged untuk follower blog bib, bia bisa lo bang follow blog bib...
BalasHapushehehe
okeh,
^^
Alah bang follow bib...
BalasHapushehehe
mampir ka blog bang yo bib... :D (Y)
Emil... isi blog ny bagus2,, makasih lah mainspirasi... hehe
BalasHapusIyop samo2 ina.. :)
HapusAlhamdulillah..
BalasHapusIslam memang luar biasa perhatiannya thd wanita...
luar biasa antum stadz,, tulisannya sangat memberikan pencerahan :)
BalasHapus