Foto by: Salman Arif @copyright 2016 |
Saat pulang ke kampung halaman beberapa waktu lalu, sebenarnya saya
ingin benar-benar menikmati waktu bersama keluarga, menghabiskan waktu dengan
menyimpan sebanyak-banyaknya potongan memori yang nanti akan jadi kenangan yang
akan saya rindukan saat kembali ke tanah rantau.
Namun ternyata keadaan menuntut saya untuk menyingkirkan bayang-bayang kampung halaman yang terbayang dahulu sebelum pulang. Jamaah
Masjid At-Taqwa, masjid yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah
saya, meminta saya untuk bisa berbagi ilmu sebelum kembali ke Mesir. Awalnya saya
agak sungkan, mengingat pendeknya waktu yang saya punya di kampung. Sekitar 2
bulan lebih sedikit saja. Saya takut jika nanti saya memulai kajian, ujungnya
malah tidak selesai dan tergantung-gantung di tengah jalan.
Namun karena mendesaknya permintaan, perintah orang tua, saya mulai
menimbang. Bahwa ilmu yang saya punya adalah amanah, dan amanah mesti
disampaikan. Saya pun mulai merancang apa yang akan saya sampaikan kepada
masyarakat. Tentu yang masyarakat butuh sekarang adalah masalah yang berkaitan
dengan tata cara ibadah praktis yang bisa langsung mereka praktekkan, fikih.
Dan sayangnya, tak satupun ustaz pengisi kajian masjid yang menyampaikan tema
ini. Kalaupun ada, itu pun tidak digunakan untuk menjadi pedoman dalam
beribadah, namun malah untuk kualitas menghukumi ibadah orang lain, seperti
yang memang banyak terjadi saat ini. “Si Anu itu lihat, ibadahnya macam itu.
Itu bayangan penghuni neraka,”
Alhamdulillah, sebelum pulang kemarin saya sempat berkonsultasi dengan
Syaikh Salim al-Khathib mengenai proses mengajar bagi masyarakat umum serta
rujukan yang sebaiknya dijadikan bahan ajar. Beliau mengatakan, ajarkan
masyarakat kitab al-Muqaddimah al-Hadhramiyah yang saat itu kami pelajari di
bawah bimbingan beliau. Sebuah kitab yang memang hanya mencakup permasalahan
ibadah, namun begitu ringkas, bahasanya mudah, dan lengkap hingga hal-hal yang
rinci jika disandingkan dengan syarahnya. Saya pun merasa percaya diri untuk
mengajar, karena saya sudah mempelajarinya di bawah bimbingan guru yang
memiliki kredibilitas dan keilmuan yang bersambung sampai kepada imam mazhab,
Imam Syafi’i.
Agar kajian fikih ini berjalan maksimal, saya hanya fokuskan kajian
seputar taharah (kesucian), salat dan puasa. Bukan berarti saya menganggap
enteng perkara haji dan zakat, namun mengingat dua ibadah ini termasuk ibadah
kompleks, dan tidak dilakukan sesering ibadah lainnya, saya menunda kajiannya.
Lagi pula, dua ibadah ini sudah memiliki panitia pelaksana. Ada BAZ, ada Seksi
Haji di Kemenag. Dan apakah pegawai dua lembaga ini memiliki pengetahuan yang
cukup tentang zakat dan haji? Mestinya ada.
Sebenarnya kajian fikih ini akan saya mulai langsung dengan membaca
kitab. Namun mengingat banyak masyarakat kini yang telah lupa dengan konsep
taklid mazhab, merasa sudah mampu mengambil hukum langsung dari Quran-Sunah
tanpa paham Bahasa Arab, kepada ulama sekelas imam pun sudah hilang rasa hormat
(istilahnya : mereka makan
nasi, saya juga makan nasi), maka saya pun memulai kajian dengan
menjabarkan sejarah perkembangan keilmuan Islam mulai dari zaman Rasulullah
Saw, menjelaskan kerumitan proses pengambilan hukum dari al-Quran, memaparkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum bisa mengambil hukum langsung dari
dalil-dalil yang ada. Tak lupa saya juga memberikan beberapa contoh kekonyolan
yang muncul jika orang yang tidak memiliki kredibilitas alim mencoba-coba untuk
mengambil hukum sendiri, seperti yang terjadi pada surat al-Baqarah ayat 115
dan ayat 187.
Alhamdulillah, rata-rata jamaah kembali memahami bahwa memang berijtihad
itu tidak bisa sembarangan. Zahir dalil pun bisa jadi pemahamannya berbeda,
karena dalil tidak Cuma satu, kita harus meneliti juga dalil lain. Intinya,
saya menyampaikan bahwa taklid kepada Imam Mujtahid adalah satu-satunya cara
beribadah bagi orang yang belum mencapai derajat mujtahid. Kalau sudah mencapai
derajat mujtahid, silakan ambil hukum langsung dari dalilnya. Bahkan mujtahid
dilarang untuk bertaklid kepada mujtahid lain. Kalau belum mampu namun memaksa
untuk mengolah dalil, maka saya umpamakan itu sebagai tindakan sok berani,
alias gadang sarawa.
Kegiatan kajian dilakukan setiap hari setelah salat subuh, hanya sekitar setengah jam paling lama. Ditambah dengan dua kali setelah magrib hingga isya, Selasa dan Kamis. Kajian secara keseluruhan berjalan lancar, saya kembali menjelaskan ibadah dari dasar. Mulai dari cara membedakan air yang boleh digunakan untuk bersuci dan yang tidak. Macam-macam najis serta cara menyucikannya tergantung sifat. Tak lupa juga saya sampaikan perihal wudu, mandi dan tayamum mulai dari rukun, syarat, sunah-sunah serta hal-hal yang makruh dilakukan pada saat bersuci. Ah, ya! Yang tak kalah penting juga, saya sampaikan tata cara istinjak/cebok, dan bagaimana tatacara istijmar (cebok tanpa air) berikut syarat dan ketentuannya.
Agaknya masyarakat menganggap sepele kajian ini, menganggapnya sebagai
pelajaran anak-anak karena saya benar-benar mulai dari dasar. Di awal memang
saya lihat tatapan meremehkan dari beberapa. Namun seiring berjalannya kajian,
begitu rinci kajian yang saya berikan dan juga pemahaman-pemahaman yang
ternyata keliru berkembang, masyarakat pun mulai menaruh perhatian. Contohnya
saja, masih ada yang memegang mushaf al-Quran tanpa bersuci, padahal untuk memegangnya harus suci dari
hadas kecil. Harus berwudu. Pun juga tentang najis anjing yang selama ini
dipahami mesti disucikan dengan adonan tanah, layaknya mencuci pantat kuali
yang hitam karena arang. Padahal cukup dengan mencampurkan tanah ke dalam air,
kemudian alirkan air tersebut di tempat yang terkena najis. Dan juga perkara
haid, dan pemahaman 15 hari maksimalnya yang hampir tidak pernah dijelaskan
sehingga tidak ada satupun yang tahu.
Belum lagi tentang tayamum, yang syaratnya begitu banyak, dan ternyata
tidak semua salat yang dilakukan dengan tayamum itu dihitung menggugurkan
kewajiban. Dalam artian, ada beberapa keadaan yang membuat seseorang mesti
mengganti salat yang ia lakukan dengan bertayamum. Apakah pembaca tahu hal ini?
Kalau belum, segera cari guru untuk belajar agar tahu! :D
Meskipun lancar, terkadang dalam beberapa masalah rinci, ada sanggahan
dari jamaah yang mungkin memiliki kajian berbeda sebelumnya. Seperti masalah
qunut, masalah bacaan Fatihah bagi makmum yang salatnya jahar, masalah jumlah
rakaat tarawih, juga perihal tayamum menggunakan debu yang basah.
Jika mendapatkan sanggahan macam ini, maka saya hanya akan menjawab
bahwa kalau memang sanggahan tersebut didasarkan kepada hasil penelitian ulama
mujtahid, dan didapatkan melalui sumber yang valid, maka silakan digunakan
dalam beribadah. Namun jika pendapat tersebut hanya didapat dari bacaan, yang
bisa jadi disalahpahami karena tidak divalidkan oleh bimbingan guru, maka saya
tegaskan, cukup ikuti yang bisa kita pastikan sumbernya, yang bisa kita
pastikan pemahamannya. Jika untuk kesehatan saja kita mesti merujuk kepada
dokter, apalagi perkara agama.
Seiring berjalannya kajian, terlihat memang beberapa jamaah menghilang.
Yang saya pahami, menghilangnya jamaah ini karena ada ketidaksesuaian metode.
Seperti yang tadi saya sampaikan, kajian yang saya beri didasarkan pada pada
pemahaman bahwa mengikuti ulama adalah satu-satunya cara agar ibadah kita (yang
bukan mujtahid) berjalan sesuai syariat. Sedangkan beberapa jamaah memahami bahwa
kita tidak perlu merujuk kepada ulama. Cukup langsung kepada Quran dan hadis,
dan kalaupun ada pendapat ulama, ambil saja yang mudahnya. Barangkali mereka
lupa pengantar yang saya berikan sebelum memulai kajian fikih, dan tak sadar,
bahwa validnya suatu pendapat harus sesuai anjuran ulama, bukan sesuai dengan
timbangan mudah atau sulit menurut pribadi. Ini namanya dorongan hawa.
Tetapi tak sedikit pula jamaah yang datang dari daerah yang agak jauh,
sehingga rela mengendarai motor untuk salat subuh di masjid at-Taqwa. Jujur,
yang begini yang membuat saya bahagia.
Ehem, sehari sebelum saya kembali ke Mesir, pengurus
memberikan bantuan logistik, karena memang salah satu program masjid kami
adalah memberi bantuan dana bagi penduduk jorong yang mendapat kesempatan untuk
kuliah di luar negeri. Alhamdulillah.
Setelah merampungkan kajian taharah, salat dan puasa, saya memberikan
gambaran umum tentang kajian dari awal sampai akhir, dan memberikan modul
pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun karena keterbatasan waktu,
modul hanya sebatas taharah.
Mengingat kajian sudah berakhir dan waktu yang saya punya masih tersisa
beberapa hari, maka saya berinisiatif untuk mengisinya dengan kajian akhlak.
Saya menjadikan kitab At-Thariqah al-Muhammadiyah wa as-Sirah al-Ahmadiyah karya
Imam Muhammad al-Barkawi yang dulu saya pelajari di Madrasah Sumatera Thawalib Parabek
sebagai bahan. Lain fikih, lain akhlak. InsyaAllah akan saya kisahkan di
tulisan selanjutnya. :)
0 komentar:
Posting Komentar