Dua bulan lagi UN akan ku jalani. Walaupun belajar di pesantren, yang
notabenenya adalah institusi pendidikan agama yang harusnya independen,
ternyata peraturan mentri pendidikan tetap saja menghantui kami. Rasa ngeri
mulai terasa, entah kenapa, mungkin karena banyaknya try out, dan juga
pelajaran sore yang tak kenal istirahat.
Bukan UN yang kutakutkan. Tentu saja jika hanya mengejar “lulus”, nilai
rata-rata 5,1 bisa kuraih. Namun aku lebih mencemaskan siapa aku, akan jadi apa
aku. Aku bersekolah di pesantren dengan kurikulum belum matang. Aku mulai
bingung, apakah aku akan menjadi da’i berjubah, atau seorang bisnismen berjas.
Jika akan menjadi ulama, sekolahku tidak memberikan dasar keilmuan yang
memadai. Tidak ada kewajiban menghafal Al-Quran, kitab-kitab gundul hanya
dibaca paling banyak 30 halaman, tidak ada kegiatan menghafal matan-matan[1]. Jadi
ulama tanpa hafalan Al-Quran? Jangan mimpi!
Atau bisnismen berjas. Ini lebih tidak mungkin lagi. 99% waktuku kuhabiskan
di sini. Bahkan bulan Ramadhan pun dihabiskan dengan belajar. Aku tak punya
koneksi, tak lihai berkomunikasi, jarang sosialisasi, sedikit kenalan, sempit
pertemanan. Sekarang coba jelaskan, dari mana aku bisa menjadi seorang miliarder
sekelas pengusaha Taipan?
Gila, gila, gila!
Pernah suatu hari, dengan nekad ku sampaikan kegalauanku ini pada salah
seorang guru, yah, seorang guru yang memegang kebijakan di sekolahku. Setelah
beliau selesai menerangkan pelajaran, dan sedikit memberi pesan kepada kami
yang akan segera naik level ke universitas.
“Ustad, menurut Ustad, saya harus jadi apa?
Jadi preman pasar, saya tidak bisa silat, badan pun kecil karena kebutuhan
gizi masa pubertas tidak tercukupi.
Mau jadi bisnismen, teman-teman yang saya kenal hanya ada di sini. Asrama
dan sekolah tidak memberi banyak kesempatan dengan orang-orang luar untuk
berinteraksi.
Mau jadi ulama, hafalan Quran tidak ada, kitab fikih hanya sebatas shalat,
zakat, puasa, comot sini comot sana.
Saya bingung, Ustad. Bisa jadi apa saya?”
Kau tahu jawaban apa yang aku dapat?
“Buang ulatnya, ambil tebunya!”
Wow! Lalu hubungannya dengan pertanyaanku apa?
***
Aku mungkin terperangkap ragu, bingung, galau beberapa waktu lalu. Tapi
kini aku sadar, galau yang terendap lama akan berubah menjadi energi negatif
yang kadang bisa membuat gila, sebagian orang menyebutnya marah. Ya, aku marah,
tapi tidak tahu pada siapa!
Waka kurikulum?
Ah, ya, dialah yang mengatur segala apa yang harus dipelajari. Dialah yang
menyunat setiap menit-menit yang seharusnya digunakan untuk mempelajari ilmu
agama secara total. Ah, ya, dialah yang mengontrol kegiatan belajar-mengajar.
Waka kurikulum! Aku marah padamu!
Tapi tunggu, bukankah waka kurikulum hanya bekerja? Bukankah ia hanya
melakukan tugas yang diberikan oleh kepala sekola? Ah, ya, kepala sekolah,
kepala sekolah, kau lah yang membuat kami disorientasi. Bingung apa kami akan
berakhir jadi pribadi sampah masyarakat tak berguna!
Tapi tunggu, ini juga bukan salah kepala sekolah sepenuhnya. Jika diteliti,
pemotongan jam belajar agama disebabkan karena tuntutan UN, sehingga beberapa
pelajaran rela disunat demi diulangnya 6 buah pelajaran yang akan di-UN-kan.
Siapa yang bertanggung jawab? Kepala dinas pendidikan? Bukan, bukan, bukan. Ini
pasti salah menteri pendidikan. Ini salah menteri pendidikan!
***
Saat marah tak bisa dilampiaskan, hanya sesal yang dapat dirasakan. Aku
menyesal mengapa harus bersekolah di sekolah yang tidak punya kurikulum paten
sehingga tidak menyebabkan murid-muridnya galau.
Ku dengar pesantren-pesantren di pulau seberang sana telah mengkaji kitab-kitab
secara sempurna. Mereka sudah menghafal Al-Quran sejak belia. Mereka bahkan
diijinkan untuk terjun ke masyarakat paling tidak 2 bulan setiap tahunnya.
Sedangkan aku? Aku siapa? Bisa jadi apa?
***
Kairo, 15 Februaru 2014
Karena sekarang sudah di negeri seberang, yuk kita perbaiki waktu belajar yang disunat di sini bersama :)
BalasHapusayok mas brooo.. ;)
BalasHapus