Hafshah binti Umar bin
Khatthab adalah salah satu istri Rasulullah Saw. Beliau adalah janda yang dinikahi
Nabi Saw, setelah suaminya, Khunais bin Huzafah Al-Anshari mati syahid di
perang Badar.
Ada cerita menarik sebelum Hafshah
dinikahi oleh Rasulullah Saw.
Sebagai bapak yang baik, Umar
bin Khatthab tidak ingin anaknya lama menjanda. Ia ingin agar anaknya segera menikah
dan mendapat lelaki saleh sebagai pelindungnya. Setelah masa idah Hafshah selesai, Umar segera menemui Usman
bin Affan, seorang sahabat yang terkenal kemuliaannya.
“Usman! Jika kamu bersedia, aku
ingin menikahkanmu dengan Hafshah,” ujar Umar.
Mendengar tawaran Umar, Usman
menjawab, “Kalau begitu, aku akan berpikir terlebih dahulu,”
Beberapa hari Usman lewati
untuk menimbang tawaran Umar hingga akhirnya ia menolak.
Masih didorong keinginan agar
anaknya mendapat lelaki saleh, Umar datang menemui Abu Bakar, menawarkan hal
yang sama. Mendengar tawaran Umar, Abu bakar hanya diam, tidak memberi jawaban.
Siapa mengira jika beberapa
hari kemudian Hafshah malah dilamar oleh lelaki paling saleh dunia akhirat,
Rasulullah Saw. Dan ternyata penolakan dari Utsman dan Abu Bakar disebabkan
oleh tingginya kemuliaan yang dimiliki Hafshah, sehingga tidak ada yang lebih
pantas meminangnya selain Rasulullah Saw.
And then, they lived
happily ever after..
***
Dr. Ismail Ali Sulaiman,
penulis buku tafsir dimana kisah ini saya baca, memberikan komentar bahwa
tindakan Umar adalah tindakan seorang lelaki sejati. Ia sangat ingin
mendapatkan menantu terbaik. Ia melawan gengsi untuk menawarkan anak gadisnya
kepada para lelaki hebat yang dimiliki umat.
Bandingkan dengan bapak zaman
sekarang. Ada yang memasung anak gadisnya di rumah, tanpa sedikitpun usaha,
tetap berharap akan ada lelaki yang datang. Apa-apaan??!
Atau tipe lain, membiarkan
anak gadisnya liar bebas menggembara. Syukur, jika anak gadisnya kembali sehat
wal afiat dan mendapat pendamping yang pas sempurna. Bukankah tak jarang, bapak
seperti ini ujungnya malah menanggung malu karena anaknya berbadan dua sebelum waktunya?
Inilah sebenarnya yang
ditawarkan adat Minang. Orang bilang, wanita Minang agresif karena melamar
lelaki. Ini adalah pemahaman yang keliru, karena sejatinya, bukan wanita Minang
yang melamar, namun orang tuanya, mamaknya (paman dari pihak ibu), serta
datuaknya (pemimpin suku).
Keluarga si wanita berusaha
untuk mencari pendamping yang baik untuk anak gadisnya. Setelah didapat, baru
diadakan tunangan (batimbang tando), dan dilanjutkan dengan prosedur
pernikahan lainnya.
Bukankah sama, kegigihan Umar
dengan kegigihan keluarga Minangkabau untuk mendapatkan menantu terbaik?
Terakhir, kepada para bapak,
menginginkan menantu terbaik bukanlah aib yang harus dihindari. Itu adalah
sebuah hal wajar, dan berusaha untuk menemukannya bukanlah sesuatu yang harus terhalang
gengsi. Jika lelaki semulia, sesaleh, dan segarang Umar bin Khatthab saja
sanggup menelan gengsi demi mendapatkan menantu terbaik, lalu bagaimana dengan
kita yang jika dibandingkan dengan Umar entah berada dimana?
Semoga Allah selalu menuntun
kita untuk jadi lebih baik.. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar