Bagi kebanyakan orang, jarak akan
merenggangkan hubungan. Bagiku, jarak adalah kesempatan untuk lebih banyak
berbagi.
Ya, memang ibu tak bisa berbagi cucian piringnya, ayah tak bisa
berbagi kopi hitamnya, aku pun tak bisa berbagi tenagaku untuk menolong ayah
mencuci mobil, atau membantu ibu mengangkat belanjaan. Yang kumaksud, berbagi
cerita, pengalaman. Tak langsung, namun melalui media komunikasi yang teknologi
sediakan.
Saat jauh, aku jadi sadar
bahwa saat-saat bercerita dengan orang tua adalah saat yang paling berharga.
Dengan ayah, aku akan banyak bercerita tentang pandangan ke depan. Siapa aku
akan menjadi, apa yang akan kulakukan. Tak jarang beliau juga memberiku nasihat
serta teori leadership yang beliau dapat sendiri dari pengalaman.
Dengan ibu, aku lebih banyak
bercerita tentang apa yang sudah-sudah. Kegiatan berorganisasi, perkuliahan,
dan yang tak kalah penting, beliau selalu menanyakan, “Di sana sekarang jam
berapa?”, kemudian beliau jawab sendiri. Aku sudah beri tahu kalau Bukareh lebih
cepat 5 jam dari Kairo.
Tak jarang pula, pembicaraan
kami berujung pada perdebatan tentang pernikahan di usia muda, calon istri
ideal, dan bla bla bla. Rumit nian. Baru membicarakan sudah membuat
pusing, bagaimana nanti jika benar-benar melakukan? Ujung-ujungnya, aku akan
katakan, “Ibu, anakmu ini tak ingin beristri. Ia lebih suka membujang!”
“Huss! Jangan sampai kejadian!”
beliau segera meng’cut!’.
Ibu pun banyak bercerita
tentang kegiatan beliau. Keseharian beliau di sekolah, mengajar, juga
keseharian beliau saat mengurus adik-adikku yang mulai besar. Ejieb yang tahun
ini akan Khatam Quran, Ulil yang mulai menunjukan minat di pertambangan, juga
Aan yang kos di Padang, kuliah kedokteran. Semua laki-laki, tak ada perempuan.
Jika dulu saat masih di
kampung, aku akan mendengar cerita ibu dengan ogah-ogahan, sekarang aku
mendengarkan dengan penuh perhatian. Banyak beban yang ditanggung ibu yang sebelumnya
tidak pernah kubayangkan. Tentang sekolah tempat beliau mengajar yang
suasananya tidak mengenakkan, meski murid-muridnya menyenangkan. Juga tentang
bagaimana beliau harus mengurus rumah, ya seperti yang kubilang, tanpa bantuan
anak perempuan. Berat, berat untuk membagi badan. Ayah selalu katakan, “Jika
ingin tahu mengapa surga ada di telapak kaki ibu, maka lihatlah perjuangan ibu
kalian!”
Seperti saat ini, saat aku
mendengar cerita ibu yang dipindahtugaskan. Jika sebelumnya ibu mengajar di SDN
Rawang Bunian, maka kini ibu sudah mulai mengajar di MIN Namuang. Dari
Kementerian Pendidikan ke Kementerian Agama. Perpindahan adalah perpisahan, dan
perpisahanlah yang ibu ceritakan.
Beliau bercerita bahwa meski sudah seminggu beliau pindah, murid-muridnya masih berat untuk rela. Masih ada yang setiap malam mengirim beliau sms, sekedar mengabarkan kalau belajar dengan ibu tiada duanya. Bahkan ada yang setiap hari bertandang ke rumah, sekedar melepas rindu pada ibu yang tak lagi terlihat di sekolah, itu si Aji namanya.
Beliau bercerita bahwa meski sudah seminggu beliau pindah, murid-muridnya masih berat untuk rela. Masih ada yang setiap malam mengirim beliau sms, sekedar mengabarkan kalau belajar dengan ibu tiada duanya. Bahkan ada yang setiap hari bertandang ke rumah, sekedar melepas rindu pada ibu yang tak lagi terlihat di sekolah, itu si Aji namanya.
Bukan bersifat nepotisme, tapi
ibu memang guru SD terbaik yang aku tahu. Tak pernah memanggil murid dengan
sebutan ‘wa`ang’, tak pernah membentak, memukul, meski tetap pernah marah,
namun selalu dalam batas wajar. Bukan aku yang menilai, namun murid-murid
beliau. Gelar guru favorit selalu beliau dapat setiap diadakan perlombaan di
hari guru.
Beliau mulai bercerita tentang
murid-murid beliau yang memberi beliau surat serta puisi sebelum hari terakhir
ibu mengajar. Ada Ana yang memberi beliau sebuah bros, pengapit jilbab. “Besok
Ibu pakai baju merah ya Bu. Ibu pakai bros dari Ana,” pintanya.
Lebih ekstrim lagi, ada Difa yang
memberi ibu minyak urut. “Bu, ini minyak kayu putih dari Ambon, hadiah
perpisahan dari saya,” ujarnya. Sebuah kenangan antimainstream yang mendengarnya
saja membuatku sangat terkesan. Aku jadi ingat salah satu tokoh ‘Negeri 5 Menara’
yang jago urut, bocah Ambon. Ah, aku lupa namanya.
“Wah! Jika dia memberi ibu
minyak urut, berarti dia menyuruh ibu untuk keseleo!” ujarku ngeyel.
Beliau tertawa. “Huss!” kembali beliau meng”cut!”.
Entah siapa yang punya
rencana, seluruh murid dan beberapa orang tua akhirnya datang ke rumah,
mengunjungi ibu. Sekitar 50 orang hadir. Rumah yang tadinya lapang, kini terasa
kecil. Murid-murid ibu memberikan jilbab, hasil iuran, sebagai kenang-kenangan.
Ada juga cincin, sajadah, serta barang-barang lain, kenang-kenangan perseorangan.
Ibu mengatakan bahwa beliau tak kuasa menahan air mata saat seorang muridnya
membacakan puisi-puisi serta surat-surat yang untuk beliau dituliskan.
Beliau akhirnya berpesan,
bahwa perpisahan adalah sebuah keharusan. Ia satu paket dengan pertemuan. Jadi
tak usah terlalu berlarut hingga setiap hari harus bertandang, mengirim puisi,
surat ataupun sms seperti orang pacaran. “Kalian harus kuat!” ujar beliau,
berusaha terlihat tegar, padahal mata begitu sembab.
Ah, beliau memang luar biasa.
menyesal aku tak pernah punya guru seperti beliau waktu SD dulu. Seorang guru
yang ditangisi kepergiannya. Seorang guru yang dirayakan perpisahannya.
Dirayakan? Ah, bukannya perayaan hanya dilaksanakan untuk hal yang
menyenangkan? Lalu mengapa perpisahan ini dirayakan? Lalu mengapa dirayakan
dengan air mata? Lalu, lalu, ah sudahlah.
Yang aku tahu pasti, dimanapun
kita berada, selalu berikan kesan mendalam sehingga kepergian kita akan
disayangkan, perpisahan kita akan ditangisi. Seperti kata Pak B. J. Habibie,
tokoh favoritku, “Dimanapun engkau berada, selalulah menjadi yang terbaik, dan
berikan yang terbaik dari yang bisa kita berikan,”
Lalu mengapa judul tulisan ini
tak sesuai dengan isi? Kawan, tanyakan pada rumput yang bergoyang! *kaboooor!
***
Kairo, 25 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar