Tak bisa
dipungkiri, era postmodern dan dampak yang ia bawa tak bisa dbendung.
Terutama dari segi membanjirnya informasi, sehingga setiap orang merasa berhak
untuk berkomentar dengan akses informasi tadi sebagai dasar hipotesis
pendukung. Tak ada lagi istilah ahli bidang ini-itu, karena keahlian akan
dibantah dengan data dari website ini-itu. Profesionalisme menjadi buntung.
Komentator-komentator
dadakan mungkin akan berpikir matang-matang jika yang ia komentari adalah urusan
eksak macam kedokteran maupun konstruksi bangunan. Terang saja, salah komentar,
nyawa orang jadi taruhan, bangunan roboh jadi tanggungan. Komentar-komentar
asal biasanya hanya akan bercokol pada bidang yang akibatnya tidak akan
terlihat secara lahir segera; agama.
Komentar
yang berkaitan dengan agama,
khususnya hukum, biasanya
disebut fatwa. Di dalam Islam, untuk bisa berfatwa, sebenarnya ada aturannya. Hanya orang ‘alim’ lah yang boleh
berfatwa.
Dr. Farid Anshari
menjelaskan di dalam buku beliau, Mafhûmu’l Âlimiyyah, bahwa untuk
menjadi seorang alim, paling tidak ada tiga poin kematangan yang mesti ada ;
iman kuat, ilmu padat serta wawasan terkait waktu dan tempat. Jika satu kurang,
keulamaan seseorang dianggap cacat. Cacat dalam artian, seseorang yang tidak memenuhi
syarat, mencoba-coba untuk ber’fatwa’, ia akan tetap berdosa meskipun
‘fatwa’-nya tadi benar hasinya.
Berbeda dengan
orang yang memenuhi syarat. Setelah ia berijtihad, namun fatwanya keliru, ia tetap mendapat satu
pahala. Dengan kata lain, mengomentari sesuatu yang berkaitan dengan agama
bukan hal main-main. Kabarnya, di ijazah Madrasah Sumatera Thawalib tempoe
doeloe tertulis jelas dengan Bahasa Arab, “Siapa yang bermain-main dengan
fatwa, berarti ia bermain-main dengan api neraka”. Alamak!
Wajar.
Komentar maupun keputusan asal-asalan yang diambil dalam bidang eksak akan
langsung terlihat hasilnya. Sedangkan komentar berkaitan agama, hasilnya akan
terlihat jauh setelah komentar di keluarkan. Hasilnya nanti akan terlihat bukan di dunia. Mau benar ataupun salah,
komentar agama yang dilandaskan pada metode yang cacat, dilakukan oleh persona
yang belum memenuhi syarat, maka maaf, hanya dosa yang akan didapat.
Tak heran
jika Imam Malik, seorang mujtahid terkemuka di masanya tak merasa gengsi untuk
mengatakan ‘saya tidak tahu’ untuk 36 dari 40 pertanyaan yang diajukan kepada
beliau. Lebih baik mengaku tidak tahu dari pada fatwa yang dihasilkan hanya
fatwa kacau.
Bandingkan
dengan komentator-komentator dadakan kini, yang keilmuannya tak sampai
seperseratus ilmu Imam Malik. Namun kecepatan tanggap serta sambaran lidahnya
untuk setiap masalah begitu mencengangkan, karena memang tidak didahului proses
ijtihad dan pengkajian yang baik. Niatnya mau memberi pencerahan, namun
ujungnya malah diri ke neraka tertarik.
Lalu apa
saja keilmuan yang harus dikuasai agar bisa berfatwa?
Dr. Farid
Anshari menjelaskan, keilmuan yang harus dikuasai untuk bisa menjadi seorang
alim mencakup 3 hal. Pertama adalah ilmu yang berkaitan dengan wahyu; al-Quran
dan hadis. Minimal, seorang alim harus menghafal sepertiga awal al-Quran yang
rata-rata memang berkaitan dengan hukum, dan untuk hadis, beliau tidak
mensyaratkan jumlah, meskipun beliau tetap tekankan untuk menghafal hadis-hadis
hukum sebanyak-banyaknya. Mungkin rekomendasi Dr. Salim al-Khathib bisa
dijadikan penjelas, bahwa sebaiknya seorang alim menghafal kitab Bulûghu’l
Marâm.
Kedua, berkaitan dengan ilmu Bahasa Arab, bahasa yang dengannya
diturunkan syariat. Bahasa Arab di sini tidak cukup menguasai nahu-sharaf, namun
banyak cabang lain seperti ilmu bayân,
ma’âni, ‘arûdh dan lainnya,
sehingga Bahasa Arab bukan sekedar menjadi bahasa yang ‘dibisai’, namun memang
benar-benar di-ahli-i, lisan dan tulisan.
Ketiga, berkaitan dengan modal pemahaman serta ilmu analisis dalil
yang dimiliki. Mencakup ilmu al-Quran, ilmu mushthalah hadis,
fikih, usul fikih, mantik, akidah serta tasawuf.
Keempat, yang paling penting, adalah fiqhu’l wâqi’ alias
pengetahuan yang berkaitan dengan keadaan sesuatu yang akan dikomentari. Mau
mantap semua syarat yang tiga di atas, jika tidak punya pengetahuan tentang sikon
ketupat (situasi, kondisi, keadaan, waktu dan tempat –meminjam istilah Buya
Deswandi), maka fatwa yang dihasilkan nantinya bisa jadi cacat.
Jika dokter saja yang mengurus penyakit dunia mesti memenuhi
persyaratan yang luar biasa susah, apatah lagi ulama yang mengurus penyakit
akhirat. Dunia bersifat fana, bertahan sementara, sedangkan akhirat bersifat
baka, bertahan selama-lamanya.
Jika sahabat menemukan pribadi yang mengaku-ngaku mampu berfatwa tanpa
ilmu dasar yang memadai, ingatkan kembali apa yang ada di ijazah Parabek
dahulu, “Bermain-main dengan fatwa, bermain-main dengan api neraka,”. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar