Tak sekali-dua kali saya terlibat dialog dengan kawan-kawan disini ataupun di Indonesia tentang pribadi seorang ulama,
.
Biasanya, mereka akan menyampaikan bahwa menjadi ulama itu cukup dengan menjadi orang yang mampu memBACA dan meNELAAH kitab-kitab rujukan untuk mencari solusi terhadap persoalan serta jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan 'mustafti'/penanya,
.
Dan terkadang, ujung-ujungnya banyak juga kawan-kawan seperti ini yang menyayangkan metode belajar saya yang kolot, kaku, sulit, tidak relevan dan tidak efektif (menurut mereka). Sebab saya belajar dengan metode memantapkan satu mazhab semantap-mantapnya, baru kemudian melakukan perbandingan untuk pengayaan. Sebab saya belajar dengan 'mendalami', bukan 'menjelajahi'. Sebab saya 'menginstall' malakah ilmu, bukan sekedar 'menge-save' data,
.
.
Biasanya, mereka akan menyampaikan bahwa menjadi ulama itu cukup dengan menjadi orang yang mampu memBACA dan meNELAAH kitab-kitab rujukan untuk mencari solusi terhadap persoalan serta jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan 'mustafti'/penanya,
.
Dan terkadang, ujung-ujungnya banyak juga kawan-kawan seperti ini yang menyayangkan metode belajar saya yang kolot, kaku, sulit, tidak relevan dan tidak efektif (menurut mereka). Sebab saya belajar dengan metode memantapkan satu mazhab semantap-mantapnya, baru kemudian melakukan perbandingan untuk pengayaan. Sebab saya belajar dengan 'mendalami', bukan 'menjelajahi'. Sebab saya 'menginstall' malakah ilmu, bukan sekedar 'menge-save' data,
.